Senin, 16 November 2015

" Suatu Kajian Analisis dan Kritis terhadap Peranan Pemerintah Daerah seKabupaten Kota diProvinsi Papua di kaitkan dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dalam perpektif Pelayanan publik. '" Oleh Amsal Sama''




Latar belakang, Papua merupakan salah satu Provinsi yang terletak  paling timur   Indonesia. Pada tahun 1961  masuk ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekitar 40 tahun membangun Irin Jaya. Namun Irian Jaya telah  terjadinya kejolak Politik maka Pemerintah Pusat  dari masa kepemimpinan Presiden Gusdur meruba nama Irian Jaya diberi nama Papua. Lalu
sebagaimana kita ketahui, pada tanggal 21 November 2001 mengesahkan Undang-undang Otonomi  Khusus bagi Provinsi Papua[1]. Pemerintah Pusat memberikan desenteralisasi melalui Otonomi Daerah atau penyerahan wewenang dari pemerintah pusat  kepada pemerintah daerah otonomi “seperi di kutip dari teori Hans KelsenDecentrazation by Local Autonomy[2] atau Desentralisasi melalui Otonomi Daerah adalah suatu perpaduan langsung dari ide-ide demokrasi, masalah-masalah menyangkut kepentingan khusus daerah tertentu,  dan ruang lingkup wewenang kota madya untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, dalam  sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Namun, implementasinya di wilayah ini pelayanan pembangunan dari semua bidang kurang produktif.  Pada dasarnya semua masyarakat di Provinsi ini berkeinginan untuk pelayanan yang prima. Tetapi  semuanya belum terealisasi, baik itu bidang pendidikan, kesehatan, agama, pembangunan infrastruktur yang merupakan Program Pioritas utama dari Pemerintah. sehingga kondisi faktual  masyarakat wilayah Indonesia timur Papua menjadi  korban objek pembangunan. Ketika Otsus 14  tahun telah bergulir di Provinsi Papua menjalankan  pemerintahannya, akan tetapi masih saja ditemukan banyak persoalan di wilayah ini. Arti otonomi khusus belum sepenuhnya menyentuh seluruh lapisan masyarakat, terutama di pelosok pedalaman Papua yang notabene yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan segala keterbatasan,  termasuk  dalam  hal pembangunan. Seperti kata pepatah, sudah  jatuh tertimpa tangga. Itulah perumpamaan nasib sebagian masyarakat Papua saat ini. Sudahlah kehidupan yang terasa sulit, malah dipersulit dengan pelayanan rumit dan terkadang tidak ada kejelasan.

       
Sekali lagi, bahwa  bagi rakyat kecil kebangkitan  kesejahteraan  belum menyetuh semuanya. Pemerintah di pertanyakan kehadiran di tengah-tengah berbagai ancaman bencana yang di hadapi. Misalnya, Penembakan 5 warga sipil di Paniai pada tanggal 8 desember 2014 yang  lalu, di Kabupaten Tolikara, Kabupaten Timika dan dibeberapa daerah lainya di Papua sili berganti terus-menerus terjadi penembakan dan ketidak adilan. Pelakunya belum di tangkap dan diproses hukum sampai sekarang belum juga di tuntas mana keadilannya?. Kemudian  pelayanan publik di Pedalaman Papua seperti Pendidikan dan kesehatan yang mana pemerintah telah berhasil membangun Fasilitasnya namun tenaga pengajar dan petugas medisnya tidak petah tinggal di tempat tugasnya. Pemerintah gagal menghadirkan fungsinya sebagai pelayan yakni kemampuan pemerintah mengakumulasi dan memobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Fasilitas bagi Rakyat  kecil. Dalam kondisi lemahnya peran pemerintah dan tidak ada regulasi yang tegas terhadap bawahannya maka gugatan filosofis menjadi suatu yang terelakan. Sehingga telah munculah pertanyaan seperti ini, Apakah Pemerintah betul-betul ada? Kalaupun ada untuk siapa Pemerintah itu?
Bahwa dalam praktik politik keseharian, pemerintah bukan saja tak sikap lambat mengantisipasi persoalan publik, tapi juga tuli dan buta dalam melihat penderitaan yang di alami oleh Rakyat. Pemerintah seolah ada tapi peranya tidak di rasahkan, ini menegaskan bahwa Pemerintah dan rakyat seolah selalu berjalan rel yang berbeda, Pemerintah berjalan diatas rel kepentingan segelintir orang; kaum pemodal dan kelas penguasa sementara rakyat berjalan diatas rel yang lain, maka rakyat berada dalam penderitaan dan kesulitan hidup.
Bahwa lemahnya fungsi pemerintah Daerah,  juga akibat dari praktek korporatisme antara actor politik dengan kelompok kepentingan. Sebagai kelompok kepentingan, atau pemodal memiliki posisi tawar yang cukup kuat di hadapan actor politik. Interaksi kepentingan yang bermuara pada kenikmatan bersama, mau tak mau akan mengikis habis nilai etis, tanggungjawab dan moral pemerintah. Publik dalam hal ini sasaran utama yang di rugikan. Penderitaan yang masih mencekik rakyat ditengah bergulirnya Undang-undang Otonomi Khusus Papua kurang lebih 14 tahun, bahwa kemiskinan, kelaparan, kelangkaan harga sembako yang sangat mahal, kelangkaan lapangan pekerjaan, gizi buruk, hingga krisis sosial lainnya seperti konflik adalah buah dari tidak bekerjanya fungsi-fungsi pemerintah dengan baik.
Bahwa ada factor Pemerintah Daerah yang gagal menjalankan perannya, dengan kata lain Pemerintah yang  memproduksikan bencana. Jika peran pemerintah daerah berfungsi dengan maksimal, sudah pasti bencana-bencana yang menimpa Rakyat bisa diantisipasi lewat regulasi atau kebijakan yang tepat sasaran dan efektif. Tapi karena Pemerintah lambat bangkit maka Rakyat hanya bisa di rayakan dengan perasaan nestapa.  Dan  kesemuanya tentu tidak statis. Pujian dan dukungan  kepada Kepala Daerah selama  ini tidak lebih dari rasa frustrasi Rakyat  kepada  kepemimpinan sebelumnya. Sikap selama ini adalah antitesa yang tepat dari kontrovesi dari yang berlangsung, bukan karena kehebatanya atau bukan karena keyakinan  karena kemampuaannya. Dukungan kepadanya lebih dari pada harapan, dan impian untuk hidup berbangsa yang  lebih baik.  Tidak mustahil pujian berubah menjadi cacian dan dukungan akan berubah menjadi penentangan, sekiranya Kepala Daerah dan DPRD tidak mematuhi kehendak rakyatnya. Sebagai kepala Daerah kearifan dan kesediaan untuk bekerjasama dengan semua skoholder harus menjadi modal utama kepemimpinananya. Sikap berempati dan menghargai eksistensi kekuatan diluar dirinya perlu di tunjukkan dengan mengakomondasi berbagai kepentingan. Kesadaran bahwa pemerintahanya tidak akan berjalan efektif  tanpa dukungan dari seluruh pihak, akan mendorong pemerintah bertindak bijaksana dan adil. Jika seorang  membuka diri  mengajak seluruh kekuatan, untuk duduk bersama berdialog  berbagai persoalan masing-masing guna pemulihan krisis pembangunan di daerah,  dan seorang  pemimipin  menjadi penengah di tengah-tengah Rakyat. berdialog  dan menyatuhkan persepsi dari semua shoulder, berarti keterlibatan berbagai kekuatan potensial untuk mendukung Pemerintah Daerah secara langsung maupun tidak langsung.
Berkaitan dengan dasar pemikiran diatas, maka ada 14 masalah  pokok yang di hadapi oleh pemerintah yakni: 1.Masih tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, 2. Belum berkembangnya tingkat perekonomian  bagi Masyarakat Orang asli Papua, 3. Rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), dan masi tingginya tuna aksara, serta terbatasnya sarana-prasarana Pendidikan, 4. Rendahnya tingkat pelayanan Kesehatan Masyarakat, serta terbatasnya sarana-prasarana Kesehatan, 5. Belum memadainya sarana infrastruktur, 6. Letak wilayah desa yang terisolir, 7. Kurang memadainya sarana-prasarana Air bersih, 8. Belum tersedianya sarana penerangan listrik di pedalaman Papua, 9.Rendahnya penguasaan teknologi dan pasar, 10. Terbatasnya Sarana Komunikasi media, 11. Sulitnya merubah sosial budaya masyarakat, 12.  Kondisi keamanan relatif  masih rentan . 13. Pelayanan  kebangunan rohani yang sangat rendah, 14. Politik menjadi arogan bagi kehidupan sosial, dengan demikian kehidupan masyarakat menjadi perpecahan, dan 15. Kurangnya  Penekakan hukum dan keadilan serta Lemahnya Regulasi. Ada 15 masalah, bahkan lebih yang menimpa masyarakat Asli Papua yang hidup di pelosok pedalaman Papua-Indonesia Timur ini.
Jika kita padang  dari  dalam  rana Undang-undang Otonomi Khusus Papua telah memberi ruang yang besar bagi pembentukan dan perubahan nomenklatur sejumlah institusi baru selain yang diharapkan dapat mendorong efektifitas pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal pelayanan publik, sebagai melayani (service), membangun (development), memberdayakan (empowerment) dan  keadilan (justice). Selama ini Rakyat mengamati Pejabat Penyelenggara Pemerintah di Daerah Provinsi Papua dan Kabupaten Kota di seluruh Tanah Papua tidak menata  pelaksanaan pemerintahan di daerah secara bijaksana dan  professional. Namun, banyak melakukan politik pratis di daerah sehingga pelaksanaan pembangunan  tidak nampak, baik pembangunan fisik maupun nonfisik, maka telah terjadi bergerakan dimana-mana, bahkan rakyat tetap tertinggal dan miskin pada hal dana yang di kuncurkan dari pemerintah Pusat sangat besar, untuk Papua dari berbagai sumber dana, baik Dana APBN, APBD, DAU dan DAK serta dan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, namun dana itu  implementasinya bagi Rakya kecil tidak merasahkannya. Anggaran banyak di habiskan untuk perjalanan dinas ke Jakarta.  Realisasi di daerah pedalaman dan Pesisir Papua pelayanan pembangunan dari semua bidang kurang produktif. Pada dasarnya semua masyarakat di Wilayah berkeinginan untuk pelayanan yang prima. Namun, semuanya belum terealisasi, baik itu bidang pendidikan, kesehatan, agama, Ekonomi Kerakyatan, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Secara objektif  pembangunan kondisi idealnya tidak menentu kepada rakyat kecil, demkian juga lemahnya penegakkan Hukum dan keadilan di Daerah ini.
"Penulis adalah  Mahasiswa  Magister  Hukum   Universitas Padjadjaran Bandung’’





[1] Hadi Setia Tunggal,SH.Undang-Undang Otonomi  Khusus bagi Provinsi Papua No.21 tahun 2001. Harvarindo  2014.Bab.VII.
[2] . Teori Hans Kelsen. Teori Hukum murni-Rimdipress. Jakarta 1995.hlm.313.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar