sebagaimana kita ketahui, pada tanggal 21 November 2001 mengesahkan Undang-undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua[1]. Pemerintah Pusat memberikan desenteralisasi melalui Otonomi Daerah atau penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonomi “seperi di kutip dari teori Hans Kelsen” Decentrazation by Local Autonomy[2] atau Desentralisasi melalui Otonomi Daerah adalah suatu perpaduan langsung dari ide-ide demokrasi, masalah-masalah menyangkut kepentingan khusus daerah tertentu, dan ruang lingkup wewenang kota madya untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, implementasinya di wilayah ini pelayanan pembangunan dari semua bidang kurang produktif. Pada dasarnya semua masyarakat di Provinsi ini berkeinginan untuk pelayanan yang prima. Tetapi semuanya belum terealisasi, baik itu bidang pendidikan, kesehatan, agama, pembangunan infrastruktur yang merupakan Program Pioritas utama dari Pemerintah. sehingga kondisi faktual masyarakat wilayah Indonesia timur Papua menjadi korban objek pembangunan. Ketika Otsus 14 tahun telah bergulir di Provinsi Papua menjalankan pemerintahannya, akan tetapi masih saja ditemukan banyak persoalan di wilayah ini. Arti otonomi khusus belum sepenuhnya menyentuh seluruh lapisan masyarakat, terutama di pelosok pedalaman Papua yang notabene yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan segala keterbatasan, termasuk dalam hal pembangunan. Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah perumpamaan nasib sebagian masyarakat Papua saat ini. Sudahlah kehidupan yang terasa sulit, malah dipersulit dengan pelayanan rumit dan terkadang tidak ada kejelasan.
Sekali lagi, bahwa bagi rakyat kecil kebangkitan kesejahteraan
belum menyetuh semuanya. Pemerintah di pertanyakan kehadiran di
tengah-tengah berbagai ancaman bencana yang di hadapi. Misalnya, Penembakan 5
warga sipil di Paniai pada tanggal 8 desember 2014 yang lalu, di Kabupaten Tolikara, Kabupaten Timika
dan dibeberapa daerah lainya di Papua sili berganti terus-menerus terjadi
penembakan dan ketidak adilan. Pelakunya belum di tangkap dan diproses hukum
sampai sekarang belum juga di tuntas mana keadilannya?. Kemudian pelayanan publik di Pedalaman Papua seperti
Pendidikan dan kesehatan yang mana pemerintah telah berhasil membangun
Fasilitasnya namun tenaga pengajar dan petugas medisnya tidak petah tinggal di
tempat tugasnya. Pemerintah gagal menghadirkan fungsinya sebagai pelayan yakni
kemampuan pemerintah mengakumulasi dan memobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM)
dan Fasilitas bagi Rakyat kecil. Dalam
kondisi lemahnya peran pemerintah dan tidak ada regulasi yang tegas terhadap
bawahannya maka gugatan filosofis menjadi suatu yang terelakan. Sehingga telah
munculah pertanyaan seperti ini, Apakah Pemerintah betul-betul ada? Kalaupun
ada untuk siapa Pemerintah itu?
Bahwa dalam praktik
politik keseharian, pemerintah bukan saja tak sikap lambat mengantisipasi
persoalan publik, tapi juga tuli dan buta dalam melihat penderitaan yang di
alami oleh Rakyat. Pemerintah seolah ada tapi peranya tidak di rasahkan, ini
menegaskan bahwa Pemerintah dan rakyat seolah selalu berjalan rel yang berbeda,
Pemerintah berjalan diatas rel kepentingan segelintir orang; kaum pemodal dan
kelas penguasa sementara rakyat berjalan diatas rel yang lain, maka rakyat
berada dalam penderitaan dan kesulitan hidup.
Bahwa lemahnya fungsi
pemerintah Daerah, juga akibat dari
praktek korporatisme antara actor politik dengan kelompok kepentingan. Sebagai
kelompok kepentingan, atau pemodal memiliki posisi tawar yang cukup kuat di
hadapan actor politik. Interaksi kepentingan yang bermuara pada kenikmatan
bersama, mau tak mau akan mengikis habis nilai etis, tanggungjawab dan moral
pemerintah. Publik dalam hal ini sasaran utama yang di rugikan. Penderitaan
yang masih mencekik rakyat ditengah bergulirnya Undang-undang Otonomi Khusus
Papua kurang lebih 14 tahun, bahwa kemiskinan, kelaparan, kelangkaan harga
sembako yang sangat mahal, kelangkaan lapangan pekerjaan, gizi buruk, hingga
krisis sosial lainnya seperti konflik adalah buah dari tidak bekerjanya
fungsi-fungsi pemerintah dengan baik.
Bahwa ada factor Pemerintah Daerah yang gagal
menjalankan perannya, dengan kata lain Pemerintah yang memproduksikan bencana. Jika peran pemerintah
daerah berfungsi dengan maksimal, sudah pasti bencana-bencana yang menimpa
Rakyat bisa diantisipasi lewat regulasi atau kebijakan yang tepat sasaran dan
efektif. Tapi karena Pemerintah lambat bangkit maka Rakyat hanya bisa di
rayakan dengan perasaan nestapa.
Dan kesemuanya tentu tidak
statis. Pujian dan dukungan kepada
Kepala Daerah selama ini tidak lebih
dari rasa frustrasi Rakyat kepada kepemimpinan sebelumnya. Sikap selama ini
adalah antitesa yang tepat dari kontrovesi dari yang berlangsung, bukan karena
kehebatanya atau bukan karena keyakinan
karena kemampuaannya. Dukungan kepadanya lebih dari pada harapan, dan
impian untuk hidup berbangsa yang lebih
baik. Tidak mustahil pujian berubah
menjadi cacian dan dukungan akan berubah menjadi penentangan, sekiranya Kepala
Daerah dan DPRD tidak mematuhi kehendak rakyatnya. Sebagai kepala Daerah
kearifan dan kesediaan untuk bekerjasama dengan semua skoholder harus menjadi
modal utama kepemimpinananya. Sikap berempati dan menghargai eksistensi
kekuatan diluar dirinya perlu di tunjukkan dengan mengakomondasi berbagai
kepentingan. Kesadaran bahwa pemerintahanya tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan dari seluruh pihak, akan
mendorong pemerintah bertindak bijaksana dan adil. Jika seorang membuka
diri mengajak seluruh kekuatan, untuk
duduk bersama berdialog berbagai
persoalan masing-masing guna pemulihan krisis pembangunan di daerah, dan seorang pemimipin menjadi penengah di tengah-tengah Rakyat.
berdialog dan menyatuhkan persepsi dari
semua shoulder, berarti keterlibatan berbagai kekuatan potensial untuk
mendukung Pemerintah Daerah secara langsung maupun tidak langsung.
Berkaitan dengan dasar pemikiran diatas, maka ada 14 masalah pokok yang di hadapi oleh pemerintah yakni:
1.Masih tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, 2. Belum berkembangnya
tingkat perekonomian bagi Masyarakat
Orang asli Papua, 3. Rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), dan masi tingginya
tuna aksara, serta terbatasnya sarana-prasarana Pendidikan, 4. Rendahnya
tingkat pelayanan Kesehatan Masyarakat, serta terbatasnya sarana-prasarana
Kesehatan, 5. Belum memadainya sarana infrastruktur, 6. Letak wilayah desa yang
terisolir, 7. Kurang memadainya sarana-prasarana Air bersih, 8. Belum
tersedianya sarana penerangan listrik di pedalaman Papua, 9.Rendahnya
penguasaan teknologi dan pasar, 10. Terbatasnya Sarana Komunikasi media, 11.
Sulitnya merubah sosial budaya masyarakat, 12.
Kondisi keamanan relatif masih
rentan . 13. Pelayanan kebangunan rohani
yang sangat rendah, 14. Politik menjadi arogan bagi kehidupan sosial, dengan
demikian kehidupan masyarakat menjadi perpecahan, dan 15. Kurangnya Penekakan hukum dan keadilan serta Lemahnya
Regulasi. Ada 15 masalah, bahkan lebih yang menimpa masyarakat Asli Papua yang
hidup di pelosok pedalaman Papua-Indonesia Timur ini.
Jika kita padang dari
dalam rana Undang-undang Otonomi
Khusus Papua telah memberi ruang yang besar bagi pembentukan dan perubahan
nomenklatur sejumlah institusi baru selain yang diharapkan dapat mendorong
efektifitas pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal pelayanan publik, sebagai
melayani (service), membangun (development), memberdayakan (empowerment) dan keadilan (justice). Selama ini Rakyat mengamati
Pejabat Penyelenggara Pemerintah di Daerah Provinsi Papua dan Kabupaten Kota di
seluruh Tanah Papua tidak menata
pelaksanaan pemerintahan di daerah secara bijaksana dan professional. Namun, banyak melakukan politik
pratis di daerah sehingga pelaksanaan pembangunan tidak nampak, baik pembangunan fisik maupun
nonfisik, maka telah terjadi bergerakan dimana-mana, bahkan rakyat tetap
tertinggal dan miskin pada hal dana yang di kuncurkan dari pemerintah Pusat
sangat besar, untuk Papua dari berbagai sumber dana, baik Dana APBN, APBD, DAU
dan DAK serta dan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, namun
dana itu implementasinya bagi Rakya kecil
tidak merasahkannya. Anggaran banyak di habiskan untuk perjalanan dinas ke
Jakarta. Realisasi di daerah pedalaman dan Pesisir
Papua pelayanan pembangunan dari semua bidang kurang produktif. Pada
dasarnya semua masyarakat di Wilayah berkeinginan untuk pelayanan yang prima.
Namun, semuanya belum terealisasi, baik itu bidang pendidikan, kesehatan,
agama, Ekonomi Kerakyatan, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Secara
objektif pembangunan kondisi idealnya
tidak menentu kepada rakyat kecil, demkian juga lemahnya penegakkan Hukum dan
keadilan di Daerah ini.
"Penulis
adalah Mahasiswa Magister Hukum Universitas Padjadjaran Bandung’’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar