BAB. I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG.
Sebagaimana kita ketahui bahwa, pada tanggal
21 November 2001 mengesahkan Undang-undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Pemerintah Pusat memberikan desenteralisasi melalui Otonomi Daerah atau
penyerahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah otonomi “seperti di kutip dari teori Hans Kelsen” Decentrazation by Local Autonomy [1] atau
Desentralisasi melalui Otonomi Daerah adalah suatu perpaduan langsung dari
ide-ide demokrasi, masalah-masalah menyang
kut kepentingan khusus daerah
tertentu, dan ruang lingkup wewenang kota madya untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang merupakan
landasan Yuridis pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua terdiri dari XXIV Bab dan 79 Pasal, yang di
awali dengan konsideran dan di akhiri dengan penjelasan umum dan penjelasan
pasal-demi pasal. Secara filosofis, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 memuat
sejumlah pengakuan dan komitment Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia[2]. Sejumlah pengakuan maksud adalah; (1).
Undang-undang dibuat dalam kerangka mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, (2). Masyarakat Papua adalah insan ciptaan Tuhan
dan bagian dari umat manusia yang beradab, (3). Adanya satuan-satuan
Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus, (4). Penduduk asli Papua adalah salah
satu rumpun ras Malanesia dan merupakan
bagian dari suku-suku bangsa di Indonsia
yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat dan bahasa. (5).
Penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum
sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan
Rakyat, mendukung terwujudnya hak asasi manusia, (6). Pengelolaan dan
pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, (7). Pangakuan adanya
kesenjangan provinsi Papua dan provinsi-provinsi lain di Indonesia[3]. Di sisi lain terdapat juga, sejumlah
komitmen, antara lain; Penegakkan hukum
dan HAM ( Rule of Law and Human Rights), Perlindungan (Protection), Pemberdayaan (empowerment) dan keperpihakan (alfirmasi action) yang merupakan roh dari Undang-undang
Otonomi khusus Papua. Sampai kini
kondisi faktual belum di jalankan secara
baik dan konsekuen. Masyarakat wilayah Indonesia timur Papua menjadi korban objek pembangunan. Ketika Otsus 14 tahun
telah bergulir diProvinsi Papua menjalankan
pemerintahannya, akan tetapi arti Otonomi khusus belum sepenuhnya menyentuh seluruh lapisan
masyarakat, terutama masyarakat pribumi di Papua yang notabene yang sebagian
besar masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan segala keterbatasan
pembangunan dan, yang termasuk
dalam hal ketidak adilan.
Diskriminasi politik ekonomi dan sosial.
Berkaitan
dengan latar belakang di atas, penulis
hendak bahas adalah Sejauh manakah Eksistensi Pelaksanaan UU Otsus Papua
dari Perspektif Hukum Internasional.
BAB.
II
PENGERTIAN
A. Pengertian Otonomi Khusus.
Pengertian Otonomi Khusus dalam Hukum Internasional.
Otonomi khusus adalah salah satu bagian dari apa yang dinamakan menentukan
nasib sendiri. Dalam praktek hukum
internasional di jabarkan dalam pasal (1),[4]
Konvenan Internasional Hak-hak Sipil, dan hak Politik, dan juga Konvenan
Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan hak Budaya. Rumusan pasal (1) dari kedua
konvenan ini di tunjukan pada:
1.
Masyarakat
yang telah mendapatkan kemerdekaanya.
2.
Masyarakat
yang tinggal di wilayah belum mendapat kemerdekaan.
3.
Masyarakat
yang tinggal di sebuah negara yang berada
dibawah pendudukan militer asing.
Sedangkan
pengertian Otonomi dalam konteks hukum nasional adalah bagian dari pemerintahan
sendiri dari sebuah institusi dan organisasi publik. Dalam hal ini termasuk
kewenangan membuat peraturan perundang-undangan, yang mengatakan bahwa
pemerintahan otonomi berhak mengatur urusannya sendiri melalui pengesahan
sebuah Undang-undang. Dalam hukum internasional, otonomi berarti bahwa sebagian dari wilayah suatu negara di berikan
kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri yang dalam beberapa hak dengan cara
mengsahkan suatu undang-undang tanpa di ikuti pembentukan suatu bangunan
kenegaraan yang baru.
Menurut
Lapidoth yang di kutip oleh Hans- Joachim Hentze[5]
terdapat beberapa konsep dari otonomi dari konsep hukum yaitu:
1.
As a
right to act upon one’s own discretion in certain metters.
2.
As a synonym of independence
3.
As a synonym of desentralization
4.
As exclusive powers of legislation,
administration, and adjudication in specific areas of an autonomous entity.
Secara prinsip, otonomi
di berikan sebagai perolehan suatu wilayah berpemerintahan sendiri (internal–self government), sebagai
pengakuan kemerdekaan parsial dari pengaruh pemerintahan pusat. Kemerdekaan ini
hanya dapat ditentukan melalui tingkatan otonomi dalam proses pengambilan
politik.
Perolehan otonomi
khusus dalam konteks hukum internasional pada umumnya di dasarkan pada suatu
perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang merdeka. Hukum internasional memang
membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri yang berujung pada terbentuknya
negara baru pada tiga kategori yaitu:
1.
Masyarakat
yang berada dibawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain.
2.
Masyarakat
yang berada dibawah penduduk pemerintahan asing.
3.
Masyarakat
yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.
Otonomi khusus dalam hukum internasional telah di akui sebagai salah
satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya hukum internasional
memberikan penghormatan terhadap
perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan
identitasnya. Untuk itu salah satu keuntungan dari penerapan otonomi khusus
adalah sebagai salah satu sarana penyelesaian konflik. Dengan demikian
perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi khusus ini sebagai hasil dari
perkembangan hukum internasional secara umum yang didasarkan pada perlindungan
terhadap hak asasi manusia yang secara langsung berdampak pada kemajuan standar
umum bagi pekerjaan terhadap demokrasi, kesejahteraan, dan partisipasi rakyat
pada bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara.
Jika adanya daerah otonom suatu negara (a self
governing intra state region) sebagai suatu mekanisme penyelesaian konflik
adalah suatu tindakan pilihan bagi penyelesaian konflik internal, sehingga
memaksa pemerintah pusat untuk memciptakan daerah otonom sebagai suatu intra state region with unique level of local self-goverment.[6]
untuk itu daerah otonom harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara
induk yang di dasarkan pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat
kemandiriannya lebih tinggi dari dibandingkan daerah lain dalam suatu negara.
Otonomi Khusus di
Indonesia secara konstitusional dijamin dalam Pasal 18 B ayat 1 yang menyatakan
bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Dalam konteks hak
asasi manusia, otonomi khusus pada dasarnya diakui dan dijamin dalam Pasal 1
ayat (1) dan ayat (2) dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
(diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005) dan Kovenan Internasional Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (diratifikasi melalui UU No 11 Tahun 2005) yang
berbunyi[7]
“(1.) All peoples have the right of
self-determination. By virtue of that right they freely determine their
political status and freely pursue their economic, social and cultural
development. (2.) All peoples may, for their own ends, freely dispose of their
natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out
of international economic co-operation, based upon the principle of mutual
benefit, and international law. In no case may a people be deprived of its own
means of subsistence”.
B.
Isi dari Otonomi Khusus
Otonomi
khusus dapat berarti keseimbangan yang dibangun dengan kontruksi hukum antara
kedaulatan negara dan ekspresi dari
identitas kelompok etnis atau bangsa dalam suatu negara. Secara konstitusional tingkat dari
otonomi sendiri dapat dilakukan dengan pengalihan kekuasaan legislative dari
organ negara kepada lembaga dari daerah otonomi tersebut. Dengan mendasarkan
prinsip kedaulatan negara, satu atau lebih wilayah dapat diberikan status
khusus sebagai daerah otonomi berhak menikmati local self-government yang Lauri Hinnikainen[8] mencakup
beberapa kewenangan dan isi tertentu yang penting antara lain:
a. Status
dari daerah otonomi harus ditentukan dalam konstitusi atau UU yang berada
diatas ketentuan perundang-undangan di suatu negara. Ini juga bisa didasarkan
pada perjanjian antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah tersebut.
b. Daerah
otonomi harus mempunyai DPR yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat di
daerah tersebut dan memiliki beberapa kewenangan legislatif yang mandiri.
c. Adanya
kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi yang meliputi: pendidikan dan
kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria dan sumber
daya alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan perdagangan daerah,
kesehatan, tata ruang, dan transportasi.
d. Daerah
otonomi mempunyai kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam proses
pengambilan kebijakan dalam level nasional.
e. Peradilan
lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian dari
kekuasaan eksekutif dan legislatif.
f. Kewenangan
dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembanguan ekonomi dari daerah
otonomi.
g. Daerah
otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau
masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya.
Hukum Internasional
memang tidak memberikan pembatasan dalam pengaturan secara konstitusional dalam
suatu negara dalam hal bentuk sub sovereign status atau otonomi.
Menurut Husrt Hannum, otonomi yang lebih luas
harus diikuti juga oleh perolehan beberapa kewenangan yang diurus secara
langsung kepada;
1. DPR
lokal yang dipilih dengan memiliki kewenangan legislatif yang mandiri.
2. Kepala
pemerintahan yang dipilih
3. Kekuasaan
kehakiman lokal yang mandiri dengan kewenangan penuh untuk melakukan penafsiran
terhadap peraturan lokal.
4. Adanya
perjanjian pembagian kekuasaan antara pemerintah otonomi dengan pemerintah
pusat[9]
Suatu wilayah
otonomi harus dapat menikmati penguasaan yang efektif atas beberapa
masalah-masalah lokal dengan tetap dalam kerangka norma dasar dari suatu
negara. Otonomi tidak sama dengan kemerdekaan dan pemerintah daerah otonomi
sulit untuk mengharapkan tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dan pada
saat yang sama, negara harus mengadopsi fleksibilitas perlakuan yang akan
membuat daerah otonomi mampu untuk mengelola kewenangannya secara nyata.
Dengan demikian isi dari Otonomi Khusus Papua ada beberapa kewenagan
yaitu, adanya kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi yang meliputi:
pendidikan dan kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria
dan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan
perdagangan daerah, kesehatan, tata ruang, dan transportasi.
Daerah otonomi khusus Papua kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam proses pengambilan kebijakan dalam level nasional. Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembangunan ekonomi dari daerah otonomi. Daerah otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya. Suatu wilayah otonomi khusus tidak hanya harus dapat menikmati penguasaan yang efektif atas beberapa masalah-masalah lokal dengan tetap dalam kerangka norma dasar dari suatu negara. Namun juga memiliki sebagian kewenangan-kewenangan tertentu yang pada dasarnya hanya boleh dimiliki oleh pemerintah pusat seperti kewenangan pada bidang hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan, pengadilan, keuangan dan moneter, agama, dan imigrasi. Otonomi khusus jelas tidak sama dengan kemerdekaan dan pemerintah daerah otonomi sulit untuk mengharapkan tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dan pada saat yang sama, negara harus mengadopsi fleksibilitas perlakuan yang akan membuat daerah otonomi mampu untuk mengelola kewenangannya secara nyata.
Daerah otonomi khusus Papua kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam proses pengambilan kebijakan dalam level nasional. Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembangunan ekonomi dari daerah otonomi. Daerah otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya. Suatu wilayah otonomi khusus tidak hanya harus dapat menikmati penguasaan yang efektif atas beberapa masalah-masalah lokal dengan tetap dalam kerangka norma dasar dari suatu negara. Namun juga memiliki sebagian kewenangan-kewenangan tertentu yang pada dasarnya hanya boleh dimiliki oleh pemerintah pusat seperti kewenangan pada bidang hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan, pengadilan, keuangan dan moneter, agama, dan imigrasi. Otonomi khusus jelas tidak sama dengan kemerdekaan dan pemerintah daerah otonomi sulit untuk mengharapkan tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dan pada saat yang sama, negara harus mengadopsi fleksibilitas perlakuan yang akan membuat daerah otonomi mampu untuk mengelola kewenangannya secara nyata.
C. Analisis
Isi Undang–Undang Otonomi Khusus Papua Berdasarkan dengan Standar Hukum
Internasional Yang Berlaku.
Otonomi Khusus Papua yang diberikan melalui
UU Nomor 21 Tahun 2001 jo Perpu No 1
Tahun 2008 pada dasarnya adalah tindakan sepihak dari pemerintah pusat tanpa
melalui konsultasi atau perjanjian yang mendalam dengan masyarakat Papua. Salah
satu kelemahan model ini adalah tidak adanya dukungan dari masyarakat yang akan
menikmati otonomi khusus tersebut. Oleh karena itu Level otonomi khusus untuk
papua ada dalam skala rendah Kewenangan Khusus. Terkait dengan Kewenangan
Pemerintah Pusat. Berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 jo Perpu Nomor 1 Tahun 2008
maka Otonomi khusus Papua tidak sampai pada bidang–bidang yang menjadi
kewenangan eksekutif pemerintah pusat, yaitu[10]:
a. Dalam
hal perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah pusat yang hanya
terkait terhadap Papua dapat dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dari
Gubernur, artinya perjanjian internasional yang tidak terkait secara khusus
kepada Papua namun memiliki dampak terhadap Papua maka tidak ada peran dari
pemerintah otonomi khusus Papua. Seharunya setiap perjanjian internasional dan atau
peraturan perundang – undangan yang mempunyai dampak terhadap Papua memerlukan
persetujuan dari DPR Papua dan Gubernur Papua.
b. Dalam
hal keamanan, Daerah Otonomi Khusus Papua juga tidak berwenang untuk membentuk lembaga kepolisiannya sendiri. Hanya memang penunjukkan Kepala Kepolisian
Daerah memerlukan persetujuan dari Gubernur. Sebenarnya menarik apabila Papua
memiliki unit kepolisian tersendiri yang sifat hubungannya dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia hanyalah bersifat koordinasi dan bukan bagian dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
c. Dalam
hal pertahanan, juga tidak nampak kewenangan khusus dari daerah otonomi khusus,
namun hal ini merupakan hal umum yang terjadi di berbagai daerah otonomi khusus
di seluruh dunia.
d. Dalam
hal peradilan, meskipun telah diakui adanya peradilan adat Papua, namun hal ini
memerlukan pengaturan lebih spesifik terkait bagaimana relasi antara peradilan
adat dengan peradilan umum nasional. Ada baiknya jika putusan peradilan adat/hukum
adat harus dikuatkan oleh peradilan umum jika tidak ada salah satu pihak yang
keberatan.
e. Dalam
hal moneter dan fiskal, setidaknya sampai saat ini tidak ada ketentuan yang
khusus mengatur mata uang yang berlaku secara khusus di Papua dan Bank Sentral
khusus yang berada di Papua untuk menangani kebijakan moneter dan fiskal.
f. Dalam
hal imigrasi, tidak ada kebijakan imigrasi khusus yang merupakan ciri khas dari
Papua. Dalam banyak hal, biasanya daerah otonomi khusus berhak menerbitkan
kebijakan visa tertentu yang berbeda dengan daerah lainnya.
g. Dalam
hal sosial dan budaya serta kerjasama internasional, mestinya Papua diberikan
peluang untuk tampil dengan tim sendiri di luar Indonesia dan berhak ikut serta
sebagai peserta khusus dalam berbagai forum internasional non negara dan berhak
untuk berada dalam tim Indonesia bila forum internasional itu hanya untuk
negara. Menurut saya menarik bila di forum – forum olahraga, seni, dan budaya
seperti SEA Games dan Pasific Games, Papua dibenarkan bertanding dan tampil atas
namanya sendiri.
Berbagai uraian dan latarbelakang masalah
diatas menegaskan bahwa, Undang-undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
merupakan produk politik yang menghasilkan melalui proses kompromi yang
melibatkan multi stakeholders untuk berpihak kepada kepentingan rakyat dan
pemerintah di Provinsi Papua. Jika di tinjau dari UU Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua merupakan pada dasarnya
adalah memberikan kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/kota dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas
tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan
alam di wilayah Provinsi Papua sebesar-besarnya bagi kewakmuran rakyat Papua,
memperdayakan potensi perekonomian, sosial, budaya, yang dimiliki, perlindungan
hukum dan keadilan, yang termasuk didalamnya, memberikan peranan yang signifikan bagi orang asli Papua
melalui wakil-wakilnya untuk terlibat dalam
proses perumusan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan
dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat di
provinsi Papua. Namun ketika kita
membaca isi dari eksistensi Otsus itu tidak berjalan secara efektif dan efisien.
Daerah tidak diberikan kesempatan untuk lebih kreatif dalam menyelenggarakan
pemerintahannya. Akibatnya pemerintah daerah cenderung pasif dan
kewenangan-kewenangan yang dilaksanakan tidak lebih dari apa yang telah
digariskan sebelumnya oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan pemerintahan yang
sangat sentralistik tersebut diibaratkan api dalam sekam yang siap untuk
menyala. Meskipun pemerintah dapat meredam dengan kekuatan militer dan
birokrasi dengan memeberikannya UU Otsus Papua yang bersifat komandoistik,
namun protes dan persoalan integrasi bangsa mencuat manakala pemerintah
tumbang. Persoalan pelanggaran HAM Papua sebagai isu dunia internasional. Di
dalam pelaksanaan UU Otsus masalah politik tidak berjalan baik dan benar, contohnya
kedudukan wakil rakyat DPRD, pembentukan partai Politik lokal, ,
Penegakkan supermasi hukum, HAM dan demokrasi serta Penyelesaian masalah
pelanggaran hak-asasi manusia di Papua, dan pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsilisasi (KKR) tidak jalan. Otsus di harapkan di atur dengan Tata kelolah
yang baik dan benar. Otsus harus di perbaiki
termasuk dana Otsus, harus ada payung
hukum yang memproteksi hak-hak orang asli Papua, ada di perdasus tata cara di buat oleh
gubernur. Rakyat tidak mendapat maka harus perbaiki tata kelolah. Undang-undan Otonomi khusus Papua di
letaktakn tingkat Provinsi di Papua, di harapakan agar pembangunan Papua dari
semua aspek membawa berubahan. Namun sanyangnya UU Otsus pasal-pasal tidak jelas yang mengatakan itu, bahwa pasal tidak
mengatur dititik beratkan tentang
pemerintahan daerah tidak berlaku lagi. Misalnya UU Pemerintahan daerah Nomor
32 Tahun 2004 dan UU Otsus Papua sama-sama perlaku. Akibatnya tidak ada jalan
lain bagi pemerintah, yakni dengan memberikan status otonomi bagi daerah. Dasar
yuridis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diberikan untuk melaksanakan
otonomi, hal ini seiring dengan lahirnya UU No.32 tahun 2004 tentang
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lahirnya UU ini telah melahirkan nuansa
baru dalam perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di Papua.Daerah-daerah
khsususnya Kabupaten/kota diberikan kesempatan yang besar dalam melaksanakan
urusan-urausannya. Persoalan yang baru muncul dalam pelaksanaan otonomi khusus
Papua adalah pemerintah provinsi Papua merasa tidak diberikan kewenangan yang
besar dibandingkan dengan pemerintah kabupaten/kota. Akibatnya pemerintah
kabupaten/kota di Papua merasa memiliki posisi yang sama dengan pemerintah
provinsi. Hal ini berdampak kepada para gubernur di Papua merasahkan kabupaten
berada di luar pengawasannya. Tidak jarang para gubernur merasa tidak dihormati
oleh pemerintah Kabupaten. Dasar pelaksanaan otonomi khusus Papua No.21 tahun
2001 terbentur dengan lahirnya UU No.32 Tahun 2004. UU ini kembali memberikan
kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi.
Artinya, meskipun kesempatan untuk melaksanakan otonomi dititikberatkan pada
kabupaten/kota, namun pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengawasan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota
lemah. Otonomi Luas/ Plus yang di gagas oleh Gubernur Papua Lukas Enembe
sebagai sebuah solusi berbagai permasalahan yang ada dalam pelaksanaan Otsus
selama ini, yang sentralistik berdampak luas pada penyelenggaraan pemerintahan
di daerah. Di Papua Perdasus/Perdasi dari UU Otsus No.21 tahun 2001 tidak
berjalan, karena Kabupaten/kota di Papua mereka menjalankan peraturan
pemerintahan berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 maka, perdasus selalu pertentangan
dengan Undang-undang sektoral lainnya. Antara lain bukan uang tetapi
kewenangan, ini satu hal yang di perjelas.
Secara
umum penulis berpendapat membagi dalam 3
bagian yaitu:
1. Otsus
itu diberikan proses menyetarakan masyarakat
Papua bisa akan terjadinya disintegrasi bangsa maka di berikan Otsus.
2. Otsus itu adalah proyek pengembalikan harga diri,
jadi diletakan harga diri bukan
sekedar retorita. Maka di terjemahkan ke
dalam Otsus itu misalnya, diPT.Freeport harus ada program pemberdayaan,
sehingga pada satu tingkat tertentu orang-orang asli Papua itu duduk dalam
posisi-posisi yang cukup strategis, bagaimana membuat orang Papua mampu, di
pemerintahan juga begitu, dan semua level, itulah Otonomi khusus, sehingga ada
satu proses mengangkat harga diri orang Papua. Perhatian dari pemerintah pusat
tentu saja dengan cara memberikan keadilan, perlindungan, keperpihakan,dan
pemerdayaan serta pelurusan sejarah Bangsa Papua ke Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
3. Otsus
itu dalam pelaksanaannya, bagaimana orang Papua itu ikut memiliki Indonesia
bukan hanya di miliki oleh indonesia. Misalnya
kenapa orang padang, orang Batak, orang Makassar tidak merontak melawan
republik, karena mereka rasa memiliki dan menikmati Indonesia yang besar ini,
tidak mungkin mereka merontak. Tapi Papua belum. Dengan cara apa? bagaiamana
orang papua bisa memiliki indonesia yang besar ini? Pemahaman saya tentunya, krimlah
mereka dalam pelatihan-pelatihan ke seluruh indonesia tinggal di tempat-tempat
itu sebagai penyiar TV Nasional atau
lokal, sebagai TNI/POLRI dan lain-lain. Berikan kesempatan untuk berkarir, berkembang, dan sebagainya.
sehingga tidak memikirkan Papua terus dalam pikirnya tetapi dia harus
memikirkan keuntung yang besar dari republik, misalnya jabatan-jabatan di
pusat, bagaimana pemerintah Pusat punya kewenangan menempatkan mereka, di beri
pelatihan, kemampuan, di bentuk kopetensi tarulah mereka disitu, buat gres
program seperti itu, supaya rasa memiliki Indonesia. Karena orang Papua melihat
bahwa beberapa jabatan tingkat kementerian dari dulu sampai saat ini tidak
murni perwakilan dari orang Papua, melainkan jabatan itu hanya di kasih jabatan
politik. Nah disinilah letak kesalahan dalam pelaksanaan Otsus di Provinsi Papua.
Kendatipun demikian beberapa pasal dari roh UU Otsus papua tidak berjalan baik,
Otsus adalah langka awal kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah, pemerintah pusat tidak melihat lagi kepada
pemerintah di Papua bahwa, ada peraturan-peraturan khusus yang mengatur dalam
isi Otsus itu, misalnya, soal namanya pengangkatan Kepala kepolisian
Daerah Provinsi Papua hendaknya di
lakukan persetujuan dari Gubernur, tapi pasal ini tidak berjalan, tidak hanya
mengkat begitu saja, karena soal anggaran di kembalikan kepada negara artinya,
semua fungsi pemerintahan bersumber dari APBN.
Dasar-dasar secara
konstitusional yang disebutkan di atas merupakan dasar secara yuridis dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dasar pelaksanaan otonomi. Sehingga
dalam prakteknya pemerintah memberlakukan keberagaman dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini terbukti dengan pembiaran dan tidak
mengakui lembaga-lembaga daerah di Papua seperti Majelis Rakyat Papua (MRP),
Dewan Perwakilan Papua (DPRP), dan sekarang dibentuk oleh negra Unit Percepatan Pembangunan Papua
dan Papua Barat (UP4B), serta Lembaga Masyarakat Adat Papua (LMA), yang di akui dan di bentuk oleh negara. Ketika
melihat persoalan di atas, Gubernur Provinsi Papua Bapak Lukas Enembe, SP.,M.,H telah membuat Otsus Plus Papua sebagai
solusi untuk Papua diharapkan agar pemerintah Pusat memberikan kewenangan yang luas bagi Provinsi
Papua guna mempertahankan disintegrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan mengharagai social budaya masyarakat Papua, melalui
penetapan Otsus plus atau sebagai daerah Otonomi luas“yang diatur dengan
undang-undang.”, namun sampai kini belum masukan dalam proglenas, dan belum disetujui oleh DPR RI dan Presiden
RI.
BAB. III
Kesimpulan dan Saran
Berkaitan dengan penulisan ini, kesimpulan
yang hendak saya simpulkan, sebagai berikut:
1.
Lemahnya
pelaksanaan UU Otsus Papua, di karenakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi,
yakni; Dalam pola penyelenggaraan pemerintahan Papua,terdiri atas pemerintahan yang
bertingkat dari Pemerintah Pusat, provinsi, kabupaten, hingga pemerintahan yang
terkecil yakni Desa. Kesatuan-kesatuan pemerintahan yang berada dibawah
pemerintah pusat dapat melaksanakan sendiri pemerintahannya dan dapat
melaksanakan tugas-tugas yang telah didelegasikan oleh pemerintahan pusat.
Dalam UUD 1945 mengatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan. Selain itu, pada pasal 18B UUD 1945 juga menyebutkan
bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat
khsusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
2. Pemberian
Otsus Papua mulai tahun 2001 sampai kini
dinilai beberapa pasal tidak berjalan baik. Otonomi khusus seharusnya
mampu membuat rakyat Papua semakin berdaya di semua aspek. Seperti pasal
yang sangat urges. Yakni, Pasal (4).
perlindungan hak-hak dasar penduduk asli dan
hak-asasi Manusia.dan Supermasi hukum. Pasal , (6). Pengelolaan dan
pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua.
3. Evaluasi
pelaksanaan Undang-undang Otsus Papua, mulai dari Bab-berbab dan
pasal-berpasal, karena setiap pasal di nilai banyak mubazir (tidak jelas),
sehingga kewenangan Pemerintah Provinsi di nilai masih lemah dalam implementasikan
Undang-undang Otonomi khusus tersebut. Karena sebagian pasal-pasal
berententangan dengan Undang-undangan sertoral lainnya.
Saran:
1. Pemerintah pusat disarankan agar hendakya untuk
memciptakan daerah otonom sebagai suatu intra
state region with unique level of local self-govermen, untuk itu Otonomi Khusus
Papua harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang di
dasarkan pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih
tinggi dari dibandingkan daerah lain dalam suatu negara.
2. Undang-undang Otonomi Khusus Papua No.21
TAHUN 2001, Pemerintah Pusat segera menyetui
Draf Undang-Undang Otsus plus yang di usulkan oleh Gubernur Provinsi
Papua, Papua Barat MRP, MRPB, DPRP, dan
DPRPB serta para Bupati/walikota setanah Papua.
Penulis adalah AMSAL SAMA, Alumni Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih
Jayapura 2013, dan saat ini mengambil
program Magister Hukum Universitas Padjadjaran Bandung 2015.
Catatan: Tulisan ini berdasarkan analisis
penulis dan kutipan dari berbagai sumber yang terpercaya, semoga tulisan ini
bermanfaat bagi para pembaca.
[1] Hans Kelsen. Teori Hukum murni . Rimdi Press. Bandung
1973. hlm.313.
[2] Hadi Setia Tunggal, SH.Undang-undang Otonomi khusus Bagi Provinsi
Papua Edisi lengkap.Jakarta 2014.
[4] http://duniapolitiku.blogspot.co.id/2008/10/otonomi-khusus.html.
[5] Hans-Joachim Heintze, On The
Legal Understanding of Autonomy dalam Autonomy: Application and Implication, Kluwer Law International,
Finland, 1997, hal 7
. http:// Lapidoth. The Evolution of Human Rights
Concepts and the Application of the European
[6] Kjell-Ake Nordquist, Autonomy As
A Conflict Solving Mechanism-An Overview dalam Autonomy: Application and
Implication Kluwer Law International, Finland, 1997, hlm. 59
[7] Lauri Hannikainen, Self
Determination and Autonomy in International Law dalam Autonomy: Application and
Implication Kluwer Law International, Finland, 1997, hlm. 90
[8]
Ibid.hlm.90.
[9] Hurst Hannum, Autonomy,
Sovereignty, and Seld Determination: The Accomodation of Conflicting Rights,
University of Pennsylvenia Press, Philadelphia, 1996, Hal 46
[10] Op.cit.hlm.308
Satu
Setengah Tahun Otsus Papua: Refleksi dan Prospek, Penerbit Yayasan ToPanG,
Manokwari. Diposkan oleh wibiono di 21.14 Reaksi: Label: artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar