Tugas
Mata
Kuliah: Kapita Selekta Hukum Pidana
Kedudukan Pengajukan Pengembangan Konsep Diversi Dan Restorative Justice
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia.
BAB.
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Semua negara di dunia menganggap
persoalan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana merupakan hal yang
penting, karena anak merupakan generasi penerus bangsa dimasa depan. Oleh
karena itu negara-negara di dunia berfikir untuk mencari bentuk alternatife
penyelesaian yang terbaik untuk anak. Secara internasional konvensi
internasional yang mengatur pelaksanakan peradilan anak dan menjadi
standarperlakuan terhadap anak yang berada dalam sistem peradilan pidana, yaitu
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Konvensi Internasional Hal-Hal
Sipil dan Politi
k (International Convention on Civil and Political Rights),
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang
Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel in Human or Degrading
Treatment on Punishment) dan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-bangsa
mengenai administrasi peradilan anak (Standard
Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) Negara
Republik Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk melakukan perlindungan
terhadap anak pelaku tindak pidana diantaranya dengan lahirnya Undang-Undang
No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Perlindungan terhadap anak membutuhkan adanya kelengkapan aturan dan
pemahaman serta kemampuan aparat penegak hukum dalam melaksanakan ketentuan dan
perlunya dukungan dari masyarakat. Adapun yang menjadi permasalahan yaitu bagaimanakah pelaksanaan sistem peradilan
pidana anak di Indonesia pasca berlakunya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak. Kedua, bagaimanakah konsep diversi dan restorative justice menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan oleh
anak dan ketiga, bagaimanakah prospek pengembangan konsep diversi dan restorative Justice dalam pelaksanaan
system peradilan pidana anak di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
berdasarkan latar belakang masalah diatas bahwa berikut pembahasan.S
BAB.
II
PEMBAHASAN
A.
Anak
Anak
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan
keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak
memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak
setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas
pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik
bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup
umat manusia[1].
Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan
setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut
meminta. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child )
yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum
perlindungan anak, yaitu non diskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai
partisipasi anak.
Berdasarkan
catatan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA) tahun 2011 sebagaimana
yang dilansir pada tanggal 19 Januari 2012, sepanjang tahun 2011 KPA menerima
1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum yang diajukan ke Pengadilan
di seluruh Indonesia. 52% dari angka tersebut adalah kasus pencurian, diikuti
dengan kekerasan, perkosaan, narkoba dan penganiayaan. Sekitar 89,8% berakhir
pada pemidanaan atau diputus pidana[2].
Sementara data ditempat tugas Penulis menunjukkan sejak bulan Januari 2011
sampai dengan bulan Oktober 2014 tercatat 60 perkara anak yang diajukan ke
Pengadilan Negeri Bangil[3].
Paling tidak dari data-data tersebut menunjukkan banyaknya jumlah anak yang
berhadapan dengan hukum dan berakhir didalam penjara. Terkait dengan itu, dalam
mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang mengutamakan
kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangan anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disingkat UU SPPA) yang merupakan
pergantian terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak[4]
telah mengatur secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang
dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
dan si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena
itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam mewujudkan hal tersebut.
Berdasarkan
Pasal 1 angka 6 UU SPPA disebutkan bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Selanjutnya
dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
Keadilan restoratif yang dimaksud
dalam UU SPPA adalah kewajiban melaksanakan Diversi. Dalam pasal 7 UU SPPA
disebutkan bahwa :
Ayat
(1) “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan diversi”. Ayat (2) “Diversi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: diancam
dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan
tindak pidana”. Oleh karena penerapan diversi merupakan suatu kewajiban, maka
menjadi penting bagi pejabat dalam setiap tingkat pemeriksaan untuk benar-benar
memahami bagaimana mekanisme penerapan diversi tersebut.
Dalam
tulisan singkat ini, Penulis hanya mencoba untuk mengkaji bagaimana penerapan
Diversi dalam tahap pemeriksaan dipersidangan, karena undang-undang ini tidak
mengatur secara teknis mengenai penerapan Diversi. Pasal 15 UU SPPA menyatakan
bahwa Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara dan
koordinasi pelaksanaan Diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun hingga
saat inipun Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum ada.
B.
Definisi
dan Tujuan Diversi
·
Kata diversi berasal dari bahasa inggris
Diversion yang berarti “Pengalihan”.
Berdasarkan Pedoman Umum Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah, disesuaikan dalam bahasa indonesia menjadi Diversi[5].
·
Menurut Romli Artasasmita, Diversi yaitu kemungkinan hakim menghentikan
atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap
anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang[6].
Dalam
Pasal 1 angka 7 UU SPPA disebutkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
·
UU SPPA telah mengatur tentang Diversi
yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi
akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Penggunaan mekanisme diversi
tersebut diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga
lainnya) dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum yang melibatkan anak tanpa
menggunakan pengadilan formal. Penerapan Diversi tersebut dimaksudkan untuk
mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam suatu proses peradilan.
Tujuan
dari Diversi yang disebutkan dalam pasal 6 UU SPPA yaitu :
1. Mencapai
perdamaian antara korban dan Anak;
2.
Menyelesaikan perkara Anak di luar
proses peradilan;
3.
Menghindarkan Anak dari perampasan
kemerdekaan;
4.
Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
dan
5. Menanamkan
rasa tanggung jawab kepada Anak.
Pelaksanaan
Diversi juga harus dengan persetujuan anak sebagai pelaku kejahatan, orang tua
atau walinya serta memerlukan kerja sama dan peran masyarakat sehubungan dengan
adanya program seperti: pengawasan, bimbingan, pemulihan, serta ganti rugi
kepada korban.
Proses
Diversi wajib memperhatikan: kepentingan korban; kesejahteraan dan tanggung
jawab Anak; penghindaran stigma negatif;
penghindaran pembalasan; keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan,
dan ketertiban umum.
Beberapa
Teori Pemidanaan Yang Terkait Dengan Diversi
·
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan
beberapa teori pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemidanaan itu
dijatuhkan. Menurut Wirdjono
Prodjodikoro tujuan pemidanaan adalah untuk memenuhi rasa keadilan[7].
Dalam hukum pidana, teori pemidanaan dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu :
·
Teori absolut (vergeldingstheorien) yang dianut oleh Immanuel Kant berpandangan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan
terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan
kesengasaraan terhadap orang lain atau anggota Masyarakat[8].
Teori
relatif (doeltheorien) dilandasi tujuan
(doel) sebagai berikut[9]:
Menjerakan
dengan penjatuhan hukuman diharapkan pelaku atau terpidana menjadi jera dan
tidak lagi mengulangi perbuatannya dan bagi masyarakat umum dapat mengetahui
bahwa jika melakukan perbuatan tersebut akan mendapatkan hukuman yang serupa.
Memperbaiki
pribadi terpidana dalam perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama
menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi
perbuatan dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.
Teori
Gabungan/modern (Vereningingstheorien)
yang penganutnya adalah Van Bemmelen
dan Grotius yang menitikberatkan
keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi
masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan
beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana
beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat
diukur dan ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat[10].
Teori
lainnya yang terkait dengan pemidanaan adalah yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dalam pandangan
Utilitarianisme, bahwa pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan
dan kerasnya pidana tidak boleh melebihi jumlah yang diperlukan untuk mencegah
dilakukannnya penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dibenarkan apabila ia
memberikan harapan agar tidak terjadi kejahatan yang lebih besar[11].
Berdasarkan
beberapa teori-teori pemidanaan diatas, maka dapat dikatakan bahwa pada
dasarnya Diversi mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan anak, yang mana
nampak dari hal-hal sebagai berikut :
1. Diversi
sebagai proses pengalihan dari proses yustisial ke proses non yustisial,
bertujuan menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana yang seringkali
menimbulkan pengalaman yang pahit berupa stigmatisasi (cap negatif) berkepanjangan,
dehumanisasi (pengasingan dari masyarakat) dan menghindarkan anak dari
kemungkinan terjadinya prisionisasi yang menjadi sarana transfer kejahatan
terhadap anak.
2. Perampasan
kemerdekaan terhadap anak baik dalam bentuk pidana penjara maupun dalam bentuk
perampasan yang lain melalaui meknisme peradilan pidana, memberi pengalaman
traumatis terhadap anak, sehingga anak terganggu perkembangan dan pertumbuhan
jiwanya. Pengalaman pahit bersentuhan dengan dunia peradilan akan menjadi
bayang-bayang gelap kehidupan anak yang tidak mudah dilupakan.
3. Dengan
Diversi tersebut maka anak terhindar dari penerapan hukum pidana yang dalam
banyak teori telah didalilkan sebagai salah satu faktor kriminogen, berarti
juga menghindarkan anak dari kemungkinan menjadi jahat kembali (residive),
menghindarkan masyarakat dari kemungkinan menjadi korban akibat kejahatan.
4. Dengan
Diversi akan memberikan 2 (dua) keuntungan sekaligus terhadap individu anak. 1) Pertama; anak tetap dapat berkomunikasi
dengan lingkungannya sehingga tidak perlu beradaptasi sosial pasca terjadinya
kejahatan.
2) Kedua;
anak terhindar dari dampak negatif prisionisasi yang seringkali merupakan
sarana transfer kejahatan[12].
5. Penerapan
Diversi Dalam Persidangan Anak
Menurut ketentuan Pasal 7 UU SPPA,
Diversi hanya dapat dilaksanakan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara
di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana
(residive). Hal ini sangat perlu diperhatikan untuk memperkecil potensi
pemaksaan dan intimidasi pada semua tahap proses diversi. Seorang anak tidak
boleh merasa tertekan atau ditekan agar menyetujui program-program diversi.
Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak
Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang
berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau
nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
Terkait
penerapannya dalam pemeriksaan dipersidangan diatur dalam pasal 52 UU SPPA yang
menyebutkan :
Ketua
pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara
Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut
Umum.
Hakim
wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh
ketua pengadilan negeri sebagai Hakim.
Diversi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh)
hari.
Proses
Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri.
Dalam
hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim menyampaikan berita
acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk
dibuat penetapan.
Dalam
hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap
persidangan.
Mencermati
pengaturan tentang penerapan diversi diatas menarik untuk dibahas beberapa hal
sebagai berikut :
1) Pemanggilan
untuk pelaksanaan Diversi;
Dalam ayat (2)
ditentukan bahwa “Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari
setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim”. Dengan demikian
maka pada saat berkas perkara diterima oleh hakim anak, maka dalam tenggang
waktu 7 (tujuh) hari harus segera melaksanakan Diversi. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa hakim selekas mungkin menetapkan hari Diversi dan didalam
penetapan hari diversi agar memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan
Anak, Orang tua/wali, Penasihat Hukum, Anak Korban, Orang Tua/Wali korban[13],
Petugas Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial,
Perwakilan Masyarakat (RT/RW/Kepala Desa/Tokoh Masyarakat/Agama). Sedangkan
untuk saksi-saksi lainnya dipanggil kemudian jika Diversi gagal dan persidangan
dilanjutkan.
2) Kehadiran
korban pada saat sidang pertama adalah untuk kepentingan pelaksanaan Diversi,
bukan untuk didengar keterangannya dipersidangan sebagai saksi korban
sebagaimana pemeriksaan perkara pidana umumnya dalam tahap pembuktian. Oleh
karena itu apabila pada sidang pertama pihak-pihak yang dipanggil diatas telah
hadir maka hakim anak dapat langsung melaksanakan diversi hingga terhitung
paling lama 30 (tiga puluh) hari kedepan. Pelaksanaan diversi dapat
dilaksanakan di ruang mediasi Pengadilan Negeri tersebut.
C.
Mengenai
Penahanan
Selanjutnya
terkait dengan penahanan, apakah dalam proses diversi penahanan terhadap anak
tetap diperhitungkan?, karena jika demikian maka masa penahanan akan habis dan
Anak dapat dikeluarkan demi hukum. Jawabannya tentu tidak!, karena berdasakan
ketentuan pasal 7 UU SPPA secara limitatif telah ditentukan bahwa diversi hanya
dapat diterapkan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (residive).
Ketentuan tersebut apabila dihubungkan dengan syarat penahanan terhadap anak
yang diatur didalam pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) yang menyebutkan bahwa :
Penahanan
terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari
orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak
akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi
tindak pidana.
Penahanan
terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
Anak
telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan Diduga melakukan tindak
pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Dengan
demikian jika kembali pada persoalan terkait proses Diversi dan penahanan, maka
dapat dipastikan bahwa proses Diversi hanya dapat dilakukan terhadap Anak yang
tidak ditahan, karena Anak yang dapat ditahan adalah yang diduga melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih,
sedangkan proses Diversi hanya diterapkan terhadap Anak yang diancam dengan
pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun[14].
Hal
lainnya yang dapat saja terjadi adalah sebagaimana yang diatur didalam pasal 3
PERMA No. 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa hakim anak wajib mengupayakan diversi
dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat
dakwaan subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi (gabungan).
Misalnya dakwaan subsidaritas Primair : Pasal 354 ayat (1) KUHP (ancaman
penjara 8 tahun), Subsidair : Pasal 351 ayat (2) KUHP (ancaman penjara 5
tahun), Lebih Subsidair : Pasal 351 ayat (1) KUHP (ancaman penjara 2 tahun 8
bulan).
Pertanyaan
yang timbul adalah bagaimana dengan penahanannya?, karena pasal yang didakwakan
memenuhi syarat penahanan, sedangkan disisi lain diversi wajib dilaksanakan.
Hal ini tidak diatur lebih lanjut didalam PERMA, namun demikian karena diversi
wajib dilaksanakan, maka dalam pemeriksaan dipersidangan hakim dapat
menggunakan kewenangannya untuk tidak melakukan penahanan terhadap anak.
D.
Jangka
Waktu Pelaksanaan Diversi
Mengenai jangka waktu pelaksanaan
Diversi dipersidangan, diatur dalam Pasal 53 UU SPPA yang menyebutkan bahwa
diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari. Dalam prakteknya, bisa saja setelah lewat 30 (tiga puluh) hari
atau setelah persidangan berlangsung ternyata pihak korban dan Anak memperoleh
kesepakatan untuk berdamai, bagaimana sikap hakim terhadap hal itu?. Menurut
Penulis, hakim terlebih dahulu melihat bentuk perdamaian yang dibuat, jikalau
sifatnya hanya memaafkan kesalahan Anak namun menginginkan proses hukum tetap
berjalan, maka sikap hakim adalah tetap melanjutkan persidangan. Adapun
pemberian maaf dari korban/keluarganya akan dipertimbangkan sebagai hal-hal
yang meringankan Anak dalam menjatuhkan hukumannya. Apabila dalam perdamaiannya
pihak korban meminta agar proses pemeriksaan perkaranya dihentikan, maka adalah
lebih bijak jika perkara tersebut dihentikan oleh hakim dan hakim menyampaikan
Berita Acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri
untuk diterbitkan Penetapan. Hal ini kiranya sejalan dengan jiwa UU SPPA yang
megendepankan restoratif justice melalui diversi.
E.
Penetapan
Ketua Pengadilan Negeri Mengenai Hasil Diversi
Hal
lainnya yang menarik untuk dibahas adalah mengenai Penetapan Ketua Pengadilan
Negeri mengenai hasil Diversi. Hal ini diatur dalam pasal 12 yang menyebutkan
bahwa :
Hasil
kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk
kesepakatan Diversi.
Hasil
kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh atasan
langsung pejabat yang bertanggungjawab di setiap tingkat pemeriksaan ke
pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3
(tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.
Penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.
Penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing
Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3
(tiga) hari sejak ditetapkan.
Setelah
menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik menerbitkan
penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan
penghentian penuntutan.
Dari
ketentuan diatas, khususnya ayat (2) jelas bahwa hasil Diversi harus
disampaikan oleh atasan langsung yang bertanggung jawab disetiap tingkat
pemeriksaan (artinya dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan
dipersidangan) kepada Pengadilan Negeri untuk diterbitkan Penetapan dan secara
institusional pejabat yang berwenang menerbitkan Penetapan adalah Ketua
Pengadilan Negeri didaerah hukumnya.
Dalam
tingkat penyidikan dan penuntutan, Penyidik dan Penuntut Umum harus
menyampaikan hasil diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang untuk
selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan menerbitkan penetapan dan berdasarkan
penetapan tersebut, maka Penyidik akan menerbitkan penetapan penghentian
penyidikan, sedangkan Penuntut Umum akan menerbitkan penetapan penghentian
penuntutan.
Sedikit
melihat kembali pengaturan tentang SP3, dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang
menyatakan: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.
Selanjutnya
berdasarkan KUHAP, ada 2 (dua) alasan sebagai dasar Penuntut Umum melakukan
penghentian penuntutan yaitu penghentian penuntutan karena alasan tekhnis dan
penghentian penuntutan karena alasan kebijakan[15].
Wewenang tidak menuntut karena alasan tehknis yaitu karena adanya 3 (tiga)
keadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP, sebagai
berikut :
Kalau
tidak cukup bukti-buktinya ;
Kalau
peristiwanya bukan merupakan tindak pidana ;
Kalau
perkara ditutup demi hukum ;
Wewenang
tidak menuntut karena alasan kebijakan oleh karena Jaksa diberi wewenang untuk
mengesampingkan perkara. Wewenang tersebut dijalankan demi kepentingan umum,
kepentingan individu dan asas opportunitas. Dalam KUHAP tidak dijelaskan secara
eksplisit, namun dalam penjelasan pasal 77 KUHAP tersirat bahwa wewenang Jaksa
Agung itu diakui, yaitu untuk menyampingkan perkara[16].
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri
mengenai Diversi dalam tahap pemeriksaan dipersidangan diatur dalam pasal 52
ayat (2) “Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim”. Ayat (3) “Diversi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh)
hari”. Ayat (5) “Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim
menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua
pengadilan negeri untuk dibuat penetapan”.
Dalam
ayat (5) mengatur bahwa hakimlah yang menyampaikan hasil Diversi kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk diterbitkan Penetapan.
Selanjutnya
bagaimana dengan isi/substansi dari penetapan yang diterbitkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri?. Penetapan yang dimaksud merupakan hal yang baru dan berbeda
dengan penetapan-penetapan yang ada sebelumnya karena menyangkut status perkara
a quo. Menurut Penulis, isi/substansi Penetapan pada pokoknya menetapkan agar
para pihak melaksanakan hasil Diversi, kepada pejabat yang menangani perkara
tersebut agar segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
atau Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atau Penetapan penghentian
pemeriksaan terhadap perkara a quo dan memerintahkan Panitera untuk mengirimkan
salinan penetapan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan (Penyidik,
Penuntut umum, Hakim, Pembimbing kemasyarakatan).
Persoalan lainnya yang dapat saja muncul
adalah, bagaimana jika hasil kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan sementara
perkara tersebut telah dihentikan prosesnya, misalnya pelaku harus membayar
sejumlah ganti kerugian kepada korban tetapi pelaku kemudian tidak mampu
membayar, apakah perkara tersebut dapat dibuka kembali proses hukumnya?,
menggunakan instrumen hukum perdata atas dasar wanprestasi tentu akan menyita
waktu yang cukup lama, sehingga bisa jadi menggangu psikologis anak karena
selalu dikaitkan dengan persidangan. Berdasarkan ketentuan pasal 13 huruf b
menyatakan bahwa proses peradilan dilanjutkan jika kesepakatan diversi tidak
dilaksanakan. Pasal 14 ayat (3) menyebutkan Dalam hal kesepakatan Diversi tidak
dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera
melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), selanjutnya dalam ayat (4) Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah bagaimana mekanismenya
jika persidangan dibuka kembali?, hal ini perlu diatur lebih jauh dalam
Peraturan Pemerintah tentang Prosedur Pelaksanaan Diversi ataupun dalam
petunjuk teknis dari masing-masing tingkatan, baik penyidikan, penuntutan
maupun pemeriksaan dipersidangan.
Pertanyaan selanjutnya, kepada siapa
biaya perkara dibebankan, apakah kepada Anak atau kepada negara?, hal ini juga
belum jelas diatur, menurut pendapat Penulis, melihat tujuan dari Undang-undang
ini yang berorientasi pada perlindungan hak-hak anak, maka seyogianya jikalau
tercapai Diversi, maka negaralah yang patut dibebani untuk membayar biaya
perkara a quo. Pendapat lainnya menyatakan bahwa oleh karena proses diversi
belum menyentuh materi persidangan, sehingga mengenai pembebanan biaya perkara
tidak perlu dicantumkan didalam penetapan diversi. Hal ini masih menjadi
perdebatan dikalangan hakim.
BAB.
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa peradilan anak di Indonesia ialah merupakan peradilan
khusus dari bagian sistem peradilan
pidana yang berlaku di Indonesia. Oleh karena
bersifat khusus maka peradilan anak dipisahkan dengan peradilan bagi
orang dewasa. Salah satu yang membuat sifatnya khusus adalah penerapan Diversi.
Ini dipertegas dalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Diversi
wajib dilaksanakan dalam setiap tingkatan pemeriksaan, baik penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan dipersidangan, apabila proses Diversi berhasil sebelum tahap
persidangan maka Penyidik dan Penuntut Umum menyampaikan hasil Diversi kepada
Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat Penetapan dan berdasarkan Penetapan
tersebut Penyidik dan Penuntut Umum dapat menerbitkan SP3 (surat Perintah
Penghentian Penyidikan) dan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).
Apabila proses Diversi berhasil dalam tahap persidangan maka Berita Acara dan
hasil Diversi diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat Penetapan
penghentian perkara tersebut.
B.
Saran
Oleh karena Diversi merupakan hal baru dalam
UU SPPA, maka perlu dilakukan sosialisasi secara komprehensif bagi para penegak
hukum khususnya Hakim Anak yang ditugaskan untuk menyelesaikan perkara pidana
anak secara tepat dan adil, disamping memperhatikan kondisi korban juga agar
Anak tersebut tidak merasa kehilangannya haknya sesuai dengan apa yang telah
diatur dalam undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Perlu
bagi Mahkamah Agung RI untuk memberikan pendidikan dan pelatihan sertifikasi
bagi hakim anak secara optimal dan berkesinambungan mengenai penerapan Diversi
dalam pemeriksaan dipersidangan, karena masih banyak hakim yang belum mengikuti
sertifikasi hakim anak walaupun sudah memiliki SK hakim anak dari Ketua
Mahkamah Agung RI.
By
SAM
Program
Pasca Sarjana Unpad
Bandung
2016.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Literatur
----------------Team
Imparsial, Menggugat Hukuman Mati di Indonesia, Imparsial, Jakarta 201
----------------
J.E. Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara
Pancasila, cetakan pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007
------------
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana
---------------Mati
Terhadap Pembunuhan Berencana, cetakan
kedua, CV. Rajawali, Jakarta, 1982
------------C.S.T.
Kansil, dan Engelien R. Palandeng, , Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam
Undang-Undang Nasional, Jala Permata Aksara, Bekasi, 2009
-----------------------------Sudarto, hukum pidana jilid 1A, dikeluarkan oleh
Fakultas hukum Undip, Semarang, 1971
-----------------------Andi
Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di
Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1993
------------------Andi
Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan
Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1985 Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat
Adiktif, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1991
---------------Romli
Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak
Remaja, Armico, Bandung, 1983
--------------Roeslan
Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung
jawaban Pidana, Centra, Jakarta, 1968
------------------Muladi
dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan
Pidana, Alumni, Bandung, 1998
---------------Tom
Brooks, An Idealist Theory of
Punishment. Social Sience Research
Network. Newcastle: Department of Politics and Newcastle Law School, 2006
\J.M
van Bemmelen Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum), Terjemahan
Hasnan, Bina Cipta, Bandung 1987 Mahrus
Ali, Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan
--------
--Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008
---------Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali
Grafindo Persada, Jakarta, Februari 1996
----------Soerjono
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia - Press, Jakarta,
Oktober 1984
----------Johny
Ibrahim, Teori & Metodologi
Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Surabaya, Oktober 2005
------------------Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keenam,
Rineka Cipta, Jakarta, 1993
---------Kusno
Adi, kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh anak,
Umm -Press, Malang, 2009
-------------Dit
narkoba korserse Polri, penyalagunaan dan peredaran gelap narkoba yang
dilaksanakan oleh Polri, Mabes Polri, Jakarta, 2002.
2. Peraturan
Perundang-Undanga.
[2]
http://m.news.viva.co.id/news/read/273781-4-622-anak-indonesia-mendekam-di-penjara,
diakses tanggal 06 Juni 2016
[4]
Berdasarkan ketentuan Pasal 108 UU tersebut baru akan diberlakukan 2
(dua) tahun sejak diundangkan tanggal 30 Juli 2012, berarti UU SPPA akan berlaku
pada tanggal 30 Juli 2014.
[5] Setya wahyudi, Implementasi Ide
Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm.14
[6] Ibid
[7] Wirdjono Prodjodikkoro, Asas-asas Hukum
Pidana, Jakarta. Sinar Grafika. Mei, 2005, Cetakan Pertama, hal. 4
[8] Juhaja S Praja, Teori Hukum dan
Aplikasinya, Pustaka setia, Bandung, 2011, hlm.89
[9]
Ibid
[10]
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Diserati Teori-Teori
Pengantar dan Beberapa Komentar), Rangkang Education, Yogyakarta & Pukap
Indonesia, hlm. 102-103
[11]
Darji Darmodoharjo & Sidharta,Pokok-Pokok Filsafat Hukum,Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1999, hlm. 116-117;
[12] Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif
Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009,
hlm.129 sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Drs. Abintoro Prakoso, SH.,MS,
Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Erlangga, Surabaya, 2013, hlm. 222.
[13]
Apabila
saksi korban masih anak-anak harus didampingi oleh orang tua/walinya
[14]
Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a :
Ketentuan “pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun” mengacu pada hukum pidana”.
[15] Setya
wahyudi, Ibid, hlm.208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar