Jumat, 01 Juli 2016

EFEKTIFITAS PENEGAKKAN HUKUM DAN HAM DI PAPUA

EFEKTIFITAS PENEGAKKAN HUKUM DAN HAM DI PAPUA
BY” SAM.
M
elatar belakangi lemahnya efektifitas penegakkan hukum dan Ham/ law enforcement’ and human rights diPapua. Penegakan hukum, tekanannya selalu di
letakkan pada aspek ketertiban. Hal ini mungkin sering kali disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah sangat keliru sekali, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum. Aparat penegak hukum diPapua pada kurung waktu 3 tahun terakhir ini telah terjadi beberapa kasus dari tahun 2014-16,   Pelanggar
an hukum  yang sewenang-wenang di lakukan oleh oknum anggota aparat keamanan  (TNI dan POLRI). Kekerasan-demi kekerasan saat membendung aksi protes yang dimotori oleh kelompok aktifis mahasiswa, kelompok Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan masyarakat sipil  terus terjadi. Meskipun tidak terbukti efektif versi atau pandangan  dari aparat keamanan dilakukan atas  melindungi diri, guna menjaga stabilitas ketertiban Nasional, kedaulatan Negara serta memberikan  kenyamanan bagi masyarakat. Namun sudut pandang masyarakat Papua penggunaan kekerasaan tetap terus-menerus  terjadi. Dalam penegakan hukum dan keadilan diPapua dalam pelaksanaannya aparat melakukaan pendekatan preventif/penindakan tidak sesuai dengan prosedural Undang–undang,  dan tidak sesuai dengan kondisi lingkungan  masyarakat lokal Papua. Akibat penggunaan  alat-alat Negara dan sejata api oleh keamanan, korban tewas dan  luka –luka pun berjatuhan dari kalangan aktifis Ham dan warga masyarakat sipil lainnya.
 Berdasarkan kenyataan  dominasinya penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan dalam menghadapi aksi aktifis mahasiswa dan aktifis  KNPB, menurut kelompok ini adalah wajar jika pemuncul penilaian masyarakat bahwa jika ada korban yang jatuh, maka ini bukanlah akibat kesalahaan prosedur, tetapi hasil dari prosedur  yang memang sengaja dipilih dan telah digariskan. Masyarakat memandang bahwa apa yang telah berlangsung dalam tragedy kasus penembakan diKabupaten  Paniai  dan Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua merupakan hasil prosedur yang memang secara sengaja di lakukan oleh aparat keamanan. Kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dalam membubarkan  secara paksa aksi unjuk rasa  aktivis Ham KNPB di Kabupaten Yahukimo dan  5 siswa SMA diKabupaten Paniai Papua telah mengakibatkan meninggalnya warga sipil,  tindakan tersebut diduga merupakan pelanggaran Ham berat karena telah merapas hak paling dasar dari manusia, yaitu hak untuk hidup yang harus dilindungi oleh Negara dan tidak perlu diabaikan, dikurangi, ataupun diarapas oleh siapapun .
Berkaitan dengan lamanya proses hukum dan tidak kejelasnya, dapat dikatakan bahwa  rasa keadilan bagi korban (rakyat Papua) meragukan tuntasanya pengungapan siapa para pelaku penembakan, padahal waktu semakin berjalan, sehingga makin lama memperlebar  jarak antara usaha pengungkapannya dengan saat perlangsungnya peristiwa tersebut, dan tentang penggunaan senjata api  dan peluru tajam. Peristiwa Yahukimo dan Paniai dikenal sebagai peristiwa berdarah dimana berlangsung serangan aparat kemanan,  dimana usaha membubarkan   secara paksa asksi bazar kalang dana yang  dilakukan aktivis KNPB  dan anggota masyarakat di Kabupaten Yahukimo Papua yang sedang mengalang dana untuk  musibah angin biliung yang menimba warga di negara Papua New Gunea (PNG), dan penembakan siswa SMA diPaniai Papua yang sedang perada dipondok Natal pada tanggal 8 desember tahun 2014 lalu,  aparat dengan senjata api menembus peluruh tajam yang menimbulkan korban luka-luka dan meninggal
Bagaimana  Penegakkan Hukum diPapua  saat ini?
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara . Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Hukum adalah instrumen bernegara, sehingga tujuan hukum seharusnya sesuai dengan tujuan negara. Menurut Prof. Romli,  dalam  penegakan hukum di Indonesia,  aparat penegak hukum sering melupakan Pancasila. Tujuan hukumyang diambil dari dunia Barat (Belanda) tak sejalan dengan tujuan bernegara Indonesia. Tujuan bernegara Indonesia adalah menciptakan kesejahteraan sosial. Konsep-konsep hukum Barat sudah tidak relevan dan sudak tidak sesuai dengan filosofis, budaya dan geografi Indonesia[1]. Akibatnya, sering terjadi benturan di masyarakat Papua. Kita lupa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang diharuskan menciptakan kesejahteraan rakyat.Pancasila harus dijadikan rujukan untuk menyusun dan mengembangkan tujuan hukum (pidana) di Indonesia. Dengan alur berpikir demikian maka penegakan hukum pidana tak bisa dilepaskan dari konsep musyawarah untuk mufakat. Restorative justice adalah salah satu konsep yang mengarah ke sana. Ditegaskan Romli, hukum itu pada hakekatnya membuat hidup menjadi damai. Faktanya, hukum yang mengandalkan tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan itu tak membuat damai. Lantaran tujuannya untuk damai, maka cara-cara hukum mencapai kedamaian harus diubah. Pertanyaannya, apakah penyelesaian secara hukum pidana mengenal damai? Selama ini hukum pidana seolah bersandar pada penghukuman orang. Cara berpikir demikian diterapkan hingga kini. Padahal dalam konteks Pancasila, musyawarah untuk mufakatdikedepankan. Kalau korban dan pelaku sudah berdamai, maka seharusnya perkara selesai. Yang menentukan adil atau tidaknya adalah korban. Pendapat korban mengenai hukuman yang layak patut didengar. Selama ini, dalam perbuatan penipuan, meskipun korban dan pelaku sudah berdamai masih diteruskan. Perkara diteruskan ke pengadilan. Praktik semacam inilah yang dipertanyakan Romli dalam konteks tujuan hukum. Sebab, jika tujuan hukum untuk mendamaikan, maka perdamaian antara korban dan pelaku adalah sebuah jalan keluar. “Keadilan seperti inilah yang seharusnya dikatakan adil. Tetapi jika korban dan pelaku tak bisa berdamai (musyawarah), maka mereka meyerahkan urusan itu kepada hakim. Hakimlah yang menentukan keadilan bagi kedua belah pihak.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Mahfud MD mengungkapkan bahwa penegakan Hukum dan Ham dalam pemerintahan Jokowi-JK keberpihakan terhadap hukum masih sangat meragukan. Begitu juga dengan upaya untuk membangun demokrasi dinilai masih belum maksimal, terutama dalam bidang penegakan hukum yang masih diwarnai intervensi politik. Hal itu diungkapkan saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertema”Efektifkah Pemerintahan Jokowi-JK dalam Mengantarkan Bangsa Indonesia Menuju Masyarakat yang Sejahtera dan Berkeadilan?” Menurut dia,belum ada kemajuan dan perkembangan signifikan meskipun pemberitaan soal hukum cukup gaduh selama enam bulan pemerintahan Jokowi. Mahfud mengatakan, hukum di Indonesia masih terasa diwarnai intervensi politik sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, apakah Indonesia sebagai negara hukum atau politik. ”Kalau ditanya kuat mana, idealnya hukum harus lebih kuat dari politik. Konstitusi juga mengatakan itu. Politik harus tunduk pada hukum. Kalau politik tidak tunduk maka negara akan kacau, faktanya, saat ini justru sebaliknya. Hukum yang tunduk pada politik, sebab saat dibuat hukum itu merupakan kesepakatan politik, tidak ada hukum berlaku sendiri tanpa diberlakukan oleh politik. ”Kalau politik baik maka hukum baik. Dan kalau politiknya tidak baik maka hukumnya juga tidak bakal pernah baik, karena hukum merupakan produk politik, bila politik lebih tinggi dari hukum maka sangat berbahaya. Karena itu, ada pandangan agar politik dan hukum saling bergantung, interpendensi, atau sama. Namun, harapan agar hukum menjadi lebih kuat dari politik, maka, hanya angan-angan. Ketika dibuat, aturan hukum itu memang merupakan keputusan politik.  Jika hukum sudah dibuat dan disahkan maka yang membuat hukum harus tunduk pada hukum. Jadi, kekuatan politik yang membuat hukum juga harus tunduk pada hukum ketika hukum sudah disepakati sebagai produk politik. Sekarang keseimbangan itu tidak ada. Jadi, hukum bisa diakali dari proses legislasi sesudah dibuat tidak ditaati kalau tidak menguntungkan. Ya sudah ubah saja, mengubahnya juga kadang melanggar Prolegnas. Itu yang sekarang terjadi,”mencontohkan, pada era Presiden Soekarno sebelum demokrasi terpimpin, hukum pernah menyentuh siapa saja tanpa ada intervensi politik dari kekuasaan. Saat itu ada tiga menteri yang dijebloskan ke penjara, yakni Ruslan Abdul Ghani, Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo, dan Menag Wahid Wahab. ”Hukum ditegakkan karena pemimpin yang punya kekuasaan menyatakan hukum harus jalan[2]. Bahwa setelah divonis kemudian diberikan grasi itu soal lain, tapi pengadilan harus jalan. Polisi harus tegas, jaksa harus tegas, hakim harus tegas berjalan di atas hukum, paparnya. Politik mengatasi hukum sehingga hukum menjadi tidak jalan. Kunci semua ini terletak pada orangnya. Jika supremasi betul- betul dijunjung, lebih dari separuh persoalan bangsa ini selesai. ”Yang rusak ada pada penegak hukumnya, orangnya, aparatnya. Politisasi terhadap hukum dalam banyak kasus di pengadilan bukan hanya pada Partai Golkar dan PPP (intervensi politik di hukum) itu terlalu kecil. Penegakan hukum di Papua itu banyak ditunggangi oleh politik. Misalnya hukum sudah benar kalau politiknya tidak suka maka hukumnya diubah atau dilanggar. Kalau tidak bisa dilanggar secara terang-terangan oleh orang yang melanggaar hukum itu.
Analisis Penegakkan Hukum di Papua
Beberapa kasus kekerasan yang di sebutkan diatas bahwa, para oknum pelaku penegak hukum tidak proses hukum, dan tidak adanya kejelasan atas kasus tersebut, maka masyakarat menilai penegakan hukum di tanah Papua sangat buruk dibandingkan  daerah lain di indonesia, karena masalah efektifitas penegakan hukum diPapua kurang efektif, hal ini merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat lokal diPapua. Walaupun kemudian setiap masyarakat dan setiap daerah dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya sesuai dengan kondisi daerahnya. pendekatannya hukumnya harus secara budaya dan sosial. Dalam tatanan masyarakat, setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil adil siapapun dia tanpa pandang bulu. Kedamaian tersebut dapat diartikan bahwa di satu pihak terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat ekstern dan di lain pihak terdapat ketenteraman pribadi intern. Demi tercapainya suatu ketertiban dan kedamaian maka hukum berfungsi untuk memberikan jaminan bagi seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Jika kepentingan itu terganggu, maka hukum harus melindunginya, serta setiap ada pelanggaran hukum. Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa membeda-bedakan atau tidak memberlakukan hukum secara diskriminatif.

Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja dan di mana saja dalam wilayah negara, tanpa membeda-bedakan. Meskipun ada pengecualian dinyatakan secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima dan dibenarkan. Pada dasarnya hukum itu tidak berlaku secara diskriminatif, kecuali oknum aparat atau organisasi penegak hukum dalam kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu secara diskriminatif. Akhirnya diPapua penegakan hukum tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan rasa ketidak keadilan dalam masyarakat Papua. Masalah penegakan hukum dan HAM  di Papua merupakan masalah yang sangat serius dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari segala ketidak sesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Papua tidak semuanya buruk, Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselaran hukum yang berjalan di mata masyarakat Papua. Begitu banyak kasus-kasus hukum dan HAM yang silih berganti dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan bersamaan kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena permasalahan hukum ini merupakan permasalahan dasar suatu negara, bagaimana masyarakat bisa terjamin keamanannya atau bagaimana masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya, hukumlah yang mengatur semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah sesuai dengan kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan baik pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala kebobrokan hukum di negeri ini.
Aparat penegak hukum ditanah Papua perlu banyak evaluasi-evaluasi yang harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dari pimpinan, dan kesadaran yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk penegakkan hukum diPapua, baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara.
Jadi, penerapan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, harus dilaksanakan, karena sudah demikian ketetapan itu berlaku. Merupakan karekteristik yang harus tertanam dalam diri pribadi ataupun kelompok kepentingan. Kita harus malu dengan Undang-Undang tersebut, harus malu dengan pendiri bangsa yang rela menumpahkan darah demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kita harus menghargai semua perjuangan itu dengan hal yang tidak dapat membuat negeri ini malu di mata masyarakat ini sendiri bahkan dunia luar. Bangsa yang besar tidak hanya berdasarkan luasan wilayahnya ataupun betapa banyaknya jumlah penduduk, tetapi dengan menghargai penghormatan hak asasi manusia dan keadilan demokrasi, penegakkan Hukum dan Ham  tanpa pandang bulu  dengan menjalankan ketentuan hukum yang berlaku demi terciptanya keamanan, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.

Penulis adalah; Mahasiswa FH Universitas Padjadjaran Bandung 2016.









[1]http://nasional.kompas.com/read/2015/09/15/22382701/Kodifikasi.dalam.Revisi.KUHP.Dianggap.Kemunduran.dalam.Penegakan.Hukum
[2] http://news.detik.com/berita/3020931/mahfud-md-dan-hikmahanto-temui-luhut-diskusi-soal-penegakan-hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar