EFEKTIFITAS
PENEGAKKAN HUKUM DAN HAM DI PAPUA
BY” SAM.
M
|
elatar belakangi lemahnya efektifitas penegakkan hukum dan Ham/ law enforcement’ and human rights diPapua. Penegakan hukum, tekanannya selalu di
letakkan pada aspek ketertiban. Hal ini mungkin sering kali disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah sangat keliru sekali, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum. Aparat penegak hukum diPapua pada kurung waktu 3 tahun terakhir ini telah terjadi beberapa kasus dari tahun 2014-16, Pelanggar
an hukum yang sewenang-wenang di lakukan oleh oknum anggota aparat keamanan (TNI dan POLRI). Kekerasan-demi kekerasan saat membendung aksi protes yang dimotori oleh kelompok aktifis mahasiswa, kelompok Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan masyarakat sipil terus terjadi. Meskipun tidak terbukti efektif versi atau pandangan dari aparat keamanan dilakukan atas melindungi diri, guna menjaga stabilitas ketertiban Nasional, kedaulatan Negara serta memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Namun sudut pandang masyarakat Papua penggunaan kekerasaan tetap terus-menerus terjadi. Dalam penegakan hukum dan keadilan diPapua dalam pelaksanaannya aparat melakukaan pendekatan preventif/penindakan tidak sesuai dengan prosedural Undang–undang, dan tidak sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakat lokal Papua. Akibat penggunaan alat-alat Negara dan sejata api oleh keamanan, korban tewas dan luka –luka pun berjatuhan dari kalangan aktifis Ham dan warga masyarakat sipil lainnya.
letakkan pada aspek ketertiban. Hal ini mungkin sering kali disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah sangat keliru sekali, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum. Aparat penegak hukum diPapua pada kurung waktu 3 tahun terakhir ini telah terjadi beberapa kasus dari tahun 2014-16, Pelanggar
an hukum yang sewenang-wenang di lakukan oleh oknum anggota aparat keamanan (TNI dan POLRI). Kekerasan-demi kekerasan saat membendung aksi protes yang dimotori oleh kelompok aktifis mahasiswa, kelompok Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan masyarakat sipil terus terjadi. Meskipun tidak terbukti efektif versi atau pandangan dari aparat keamanan dilakukan atas melindungi diri, guna menjaga stabilitas ketertiban Nasional, kedaulatan Negara serta memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Namun sudut pandang masyarakat Papua penggunaan kekerasaan tetap terus-menerus terjadi. Dalam penegakan hukum dan keadilan diPapua dalam pelaksanaannya aparat melakukaan pendekatan preventif/penindakan tidak sesuai dengan prosedural Undang–undang, dan tidak sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakat lokal Papua. Akibat penggunaan alat-alat Negara dan sejata api oleh keamanan, korban tewas dan luka –luka pun berjatuhan dari kalangan aktifis Ham dan warga masyarakat sipil lainnya.
Berdasarkan kenyataan dominasinya penggunaan kekerasan oleh aparat
keamanan dalam menghadapi aksi aktifis mahasiswa dan aktifis KNPB, menurut kelompok ini adalah wajar jika
pemuncul penilaian masyarakat bahwa jika ada korban yang jatuh, maka ini
bukanlah akibat kesalahaan prosedur, tetapi hasil dari prosedur yang memang sengaja dipilih dan telah
digariskan. Masyarakat memandang bahwa apa yang telah berlangsung dalam tragedy
kasus penembakan diKabupaten Paniai dan Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua
merupakan hasil prosedur yang memang secara sengaja di lakukan oleh aparat
keamanan. Kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dalam membubarkan secara paksa aksi unjuk rasa aktivis Ham KNPB di Kabupaten Yahukimo
dan 5 siswa SMA diKabupaten Paniai Papua
telah mengakibatkan meninggalnya warga sipil,
tindakan tersebut diduga merupakan pelanggaran Ham berat karena telah
merapas hak paling dasar dari manusia, yaitu hak untuk hidup yang harus
dilindungi oleh Negara dan tidak perlu diabaikan, dikurangi, ataupun diarapas
oleh siapapun .
Berkaitan dengan lamanya proses hukum dan tidak kejelasnya, dapat
dikatakan bahwa rasa keadilan bagi
korban (rakyat Papua) meragukan tuntasanya pengungapan siapa para pelaku
penembakan, padahal waktu semakin berjalan, sehingga makin lama
memperlebar jarak antara usaha
pengungkapannya dengan saat perlangsungnya peristiwa tersebut, dan tentang
penggunaan senjata api dan peluru tajam.
Peristiwa Yahukimo dan Paniai dikenal sebagai peristiwa berdarah dimana
berlangsung serangan aparat kemanan,
dimana usaha membubarkan secara
paksa asksi bazar kalang dana yang
dilakukan aktivis KNPB dan
anggota masyarakat di Kabupaten Yahukimo Papua yang sedang mengalang dana
untuk musibah angin biliung yang menimba
warga di negara Papua New Gunea (PNG), dan penembakan siswa SMA diPaniai Papua
yang sedang perada dipondok Natal pada tanggal 8 desember tahun 2014 lalu, aparat dengan senjata api menembus peluruh
tajam yang menimbulkan korban luka-luka dan meninggal
Bagaimana Penegakkan Hukum diPapua saat ini?
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara . Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat
dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya
penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti
luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan
hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Hukum adalah instrumen bernegara, sehingga tujuan hukum seharusnya
sesuai dengan tujuan negara. Menurut Prof.
Romli, dalam penegakan hukum di Indonesia, aparat penegak hukum sering melupakan
Pancasila. Tujuan hukumyang diambil dari dunia Barat (Belanda) tak sejalan
dengan tujuan bernegara Indonesia. Tujuan bernegara Indonesia adalah
menciptakan kesejahteraan sosial. Konsep-konsep hukum Barat sudah tidak relevan
dan sudak tidak sesuai dengan filosofis, budaya dan geografi Indonesia[1].
Akibatnya, sering terjadi benturan di masyarakat Papua. Kita lupa Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang diharuskan menciptakan
kesejahteraan rakyat.Pancasila harus dijadikan rujukan untuk menyusun dan
mengembangkan tujuan hukum (pidana) di Indonesia. Dengan alur berpikir demikian
maka penegakan hukum pidana tak bisa dilepaskan dari konsep musyawarah untuk
mufakat. Restorative justice adalah
salah satu konsep yang mengarah ke sana. Ditegaskan Romli, hukum itu pada
hakekatnya membuat hidup menjadi damai. Faktanya, hukum yang mengandalkan
tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan itu tak membuat damai. Lantaran
tujuannya untuk damai, maka cara-cara hukum mencapai kedamaian harus diubah. Pertanyaannya,
apakah penyelesaian secara hukum pidana mengenal damai? Selama ini hukum pidana
seolah bersandar pada penghukuman orang. Cara berpikir demikian diterapkan
hingga kini. Padahal dalam konteks Pancasila, musyawarah untuk mufakatdikedepankan.
Kalau korban dan pelaku sudah berdamai, maka seharusnya perkara selesai. Yang
menentukan adil atau tidaknya adalah korban. Pendapat korban mengenai hukuman
yang layak patut didengar. Selama ini, dalam perbuatan penipuan, meskipun
korban dan pelaku sudah berdamai masih diteruskan. Perkara diteruskan ke
pengadilan. Praktik semacam inilah yang dipertanyakan Romli dalam konteks
tujuan hukum. Sebab, jika tujuan hukum untuk mendamaikan, maka perdamaian
antara korban dan pelaku adalah sebuah jalan keluar. “Keadilan seperti inilah
yang seharusnya dikatakan adil. Tetapi jika korban dan pelaku tak bisa berdamai
(musyawarah), maka mereka meyerahkan urusan itu kepada hakim. Hakimlah yang
menentukan keadilan bagi kedua belah pihak.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Mahfud MD mengungkapkan bahwa
penegakan Hukum dan Ham dalam pemerintahan Jokowi-JK keberpihakan terhadap
hukum masih sangat meragukan. Begitu juga dengan upaya untuk membangun
demokrasi dinilai masih belum maksimal, terutama dalam bidang penegakan hukum
yang masih diwarnai intervensi politik. Hal itu diungkapkan saat menjadi
pembicara dalam diskusi publik bertema”Efektifkah Pemerintahan Jokowi-JK dalam
Mengantarkan Bangsa Indonesia Menuju Masyarakat yang Sejahtera dan
Berkeadilan?” Menurut dia,belum ada kemajuan dan perkembangan signifikan
meskipun pemberitaan soal hukum cukup gaduh selama enam bulan pemerintahan
Jokowi. Mahfud mengatakan, hukum di Indonesia masih terasa diwarnai intervensi
politik sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, apakah
Indonesia sebagai negara hukum atau politik. ”Kalau ditanya kuat mana, idealnya
hukum harus lebih kuat dari politik. Konstitusi juga mengatakan itu. Politik
harus tunduk pada hukum. Kalau politik tidak tunduk maka negara akan kacau,
faktanya, saat ini justru sebaliknya. Hukum yang tunduk pada politik, sebab
saat dibuat hukum itu merupakan kesepakatan politik, tidak ada hukum berlaku
sendiri tanpa diberlakukan oleh politik. ”Kalau politik baik maka hukum baik.
Dan kalau politiknya tidak baik maka hukumnya juga tidak bakal pernah baik,
karena hukum merupakan produk politik, bila politik lebih tinggi dari hukum
maka sangat berbahaya. Karena itu, ada pandangan agar politik dan hukum saling
bergantung, interpendensi, atau sama. Namun, harapan agar hukum menjadi lebih
kuat dari politik, maka, hanya angan-angan. Ketika dibuat, aturan hukum itu
memang merupakan keputusan politik. Jika
hukum sudah dibuat dan disahkan maka yang membuat hukum harus tunduk pada
hukum. Jadi, kekuatan politik yang membuat hukum juga harus tunduk pada hukum
ketika hukum sudah disepakati sebagai produk politik. Sekarang keseimbangan itu
tidak ada. Jadi, hukum bisa diakali dari proses legislasi sesudah dibuat tidak
ditaati kalau tidak menguntungkan. Ya sudah ubah saja, mengubahnya juga kadang
melanggar Prolegnas. Itu yang sekarang terjadi,”mencontohkan, pada era Presiden
Soekarno sebelum demokrasi terpimpin, hukum pernah menyentuh siapa saja tanpa
ada intervensi politik dari kekuasaan. Saat itu ada tiga menteri yang
dijebloskan ke penjara, yakni Ruslan Abdul Ghani, Menteri Kehakiman Djody
Gondokusumo, dan Menag Wahid Wahab. ”Hukum ditegakkan karena pemimpin yang
punya kekuasaan menyatakan hukum harus jalan[2].
Bahwa setelah divonis kemudian diberikan grasi itu soal lain, tapi pengadilan
harus jalan. Polisi harus tegas, jaksa harus tegas, hakim harus tegas berjalan
di atas hukum, paparnya. Politik mengatasi hukum sehingga hukum menjadi tidak
jalan. Kunci semua ini terletak pada orangnya. Jika supremasi betul- betul
dijunjung, lebih dari separuh persoalan bangsa ini selesai. ”Yang rusak ada
pada penegak hukumnya, orangnya, aparatnya. Politisasi terhadap hukum dalam
banyak kasus di pengadilan bukan hanya pada Partai Golkar dan PPP (intervensi
politik di hukum) itu terlalu kecil. Penegakan hukum di Papua itu banyak
ditunggangi oleh politik. Misalnya hukum sudah benar kalau politiknya tidak suka
maka hukumnya diubah atau dilanggar. Kalau tidak bisa dilanggar secara
terang-terangan oleh orang yang melanggaar hukum itu.
Analisis Penegakkan Hukum di Papua
Beberapa kasus kekerasan yang di sebutkan diatas bahwa, para oknum pelaku penegak hukum tidak proses hukum, dan tidak adanya kejelasan atas kasus tersebut, maka masyakarat menilai penegakan hukum di tanah Papua sangat buruk dibandingkan daerah lain di indonesia, karena masalah efektifitas penegakan hukum diPapua kurang efektif, hal ini merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat lokal diPapua. Walaupun kemudian setiap masyarakat dan setiap daerah dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya sesuai dengan kondisi daerahnya. pendekatannya hukumnya harus secara budaya dan sosial. Dalam tatanan masyarakat, setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil adil siapapun dia tanpa pandang bulu. Kedamaian tersebut dapat diartikan bahwa di satu pihak terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat ekstern dan di lain pihak terdapat ketenteraman pribadi intern. Demi tercapainya suatu ketertiban dan kedamaian maka hukum berfungsi untuk memberikan jaminan bagi seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Jika kepentingan itu terganggu, maka hukum harus melindunginya, serta setiap ada pelanggaran hukum. Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa membeda-bedakan atau tidak memberlakukan hukum secara diskriminatif.
Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja dan di mana saja dalam wilayah negara, tanpa membeda-bedakan. Meskipun ada pengecualian dinyatakan secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima dan dibenarkan. Pada dasarnya hukum itu tidak berlaku secara diskriminatif, kecuali oknum aparat atau organisasi penegak hukum dalam kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu secara diskriminatif. Akhirnya diPapua penegakan hukum tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan rasa ketidak keadilan dalam masyarakat Papua. Masalah penegakan hukum dan HAM di Papua merupakan masalah yang sangat serius
dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada
perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia
yang kurang baik merupakan aktor utama dari segala ketidak sesuaian pelaksanaan
hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali lagi, walaupun tidak semua
penegakan hukum di Papua tidak semuanya buruk, Namun keburukan penegakan ini
seakan menutupi segala keselaran hukum yang berjalan di mata masyarakat Papua.
Begitu banyak kasus-kasus hukum dan HAM yang silih berganti dalam kurun waktu
relatif singkat, bahkan bersamaan kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang
sebenarnya, karena permasalahan hukum ini merupakan permasalahan dasar suatu
negara, bagaimana masyarakat bisa terjamin keamanannya atau bagaimana
masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya, hukumlah yang mengatur
semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah sesuai dengan
kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan baik
pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala kebobrokan hukum di negeri
ini.
Aparat penegak hukum ditanah Papua perlu banyak evaluasi-evaluasi yang
harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan
hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dari
pimpinan, dan kesadaran yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat
di dalamnya. Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman
dan takwa yang sejak kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan
pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik
untuk penegakkan hukum diPapua, baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum
di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan
Negara.
Jadi, penerapan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga yang
berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, harus dilaksanakan, karena
sudah demikian ketetapan itu berlaku. Merupakan karekteristik yang harus
tertanam dalam diri pribadi ataupun kelompok kepentingan. Kita harus malu
dengan Undang-Undang tersebut, harus malu dengan pendiri bangsa yang rela
menumpahkan darah demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kita harus
menghargai semua perjuangan itu dengan hal yang tidak dapat membuat negeri ini
malu di mata masyarakat ini sendiri bahkan dunia luar. Bangsa yang besar tidak
hanya berdasarkan luasan wilayahnya ataupun betapa banyaknya jumlah penduduk,
tetapi dengan menghargai penghormatan hak asasi manusia dan keadilan demokrasi,
penegakkan Hukum dan Ham tanpa pandang
bulu dengan menjalankan ketentuan hukum
yang berlaku demi terciptanya keamanan, ketentraman dan kesejahteraan
masyarakat.
Penulis adalah; Mahasiswa FH Universitas Padjadjaran
Bandung 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar